Terbaru

6/recent/ticker-posts

Problem Solving dalam PTK




“problem solving”; tindakan versus perbuatan mengatasi masalah; makna masalah, makna tindakan, makna penelitian dalam penelitian tindakan; langkah PTK; siklus penelitian tindakan; proses penelitian dan hasil penelitian tindakan; analisis data penelitian tindakan; hipotesis penelitian tindakan

Tulisan tentang classroom action research (CAR) atau penelitian tindakan kelas (PTK) yang aslinya berseri-seri dengan judul bermacam-macam, kita coba satukan dengan mengurutkannya. Namun demikian tetap bisa dibaca sendiri-sendiri juga. Tentu yang pertama ini perlu dibaca terlebih dahulu.

1. Hakekat Penelitian Tindakan

Pengertian kunci: Penelitian tindakan adalah tindakan (1) mengatasi masalah yang dihadapi, atau (2) meningkatkan kondisi yang sekarang, yang tindakannya itu selalu diteliti dan disempurnakan terus menerus, sampai tertemukan cara terbaik dan efektif mengatasi masalah atau meningkatkan keadaan.

Apa yang dimaksudkan dengan penelitian tindakan itu? Nah, rumusannya akan memasukkan unsur-unsur penelitian tindakan dalam bahasa Inggris sesuai dengan yang umum dikenal orang, yaitu rumusan unsur penelitian tindakan menurut Kemmis dan MacTaggart.

Penelitian tindakan adalah tindakan (action) mengatasi masalah (problem solving), atau untuk memperbaiki keadaan (improving, developing the existing situation), yang tindakannya itu diteliti (observed) dan disempurnakan (replanning) berkali-kali.

Penelitian tindakan kelas (PTK) jadinya merupakan tindakan untuk mengatasi sesuatu masalah yang terjadi (dihadapi guru) di kelas, utamanya yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar, atau untuk meningkatkan kondisi kelas sekarang ini, yang tindakannya itu senantiasa diteliti (diobservasi) dan diperbaiki berkali-kali.

Masalah? Atasi!

a. PTK Mengatasi Masalah

Apa contoh masalah di kelas? Dalam pelajaran IPS, di SD, ternyata hasil belajar (prestasi belajar) murid rendah. Itu contoh masalah. Jelasnya: Idealnya (harapannya) prestasi belajar IPS itu tinggi. Kenyataannya rendah. Ketidaksesuaian kenyataan dengan harapan itu yang disebut dengan masalah.

Apa contoh tindakan mengatasi masalah? Melihat kenyataan itu, misalnya, guru lalu melakukan perbaikan dalam caranya mengajar IPS tersebut. Yang dilakukan misalnya dengan memperbanyak menggunakan nyanyian untuk menghapalkan tokoh-tokoh, peristiwa, istilah-istilah dsb. Itu contoh tindakan pemecahan masalah (yang sambil dilakukan diteliti efektivitasnya, baik proses maupun hasilnya). Jadilah “kegiatan” tersebut sebagai PTK.

b. PTK Meningkatkan Keadaan

Bisa juga tidak atau tanpa harus peduli sekali terhadap ada tidaknya masalah, guru punya keinginan untuk meningkatkan iklim atau suasana belajar-mengajar yang ada sekarang ini agar menjadi lebih kondusif (katakan, misalnya, agar murid menjadi lebih ceria, bersemangat, penuh perhatian, dan mudah memahami pelajaran). Cara yang dilakukan misalnya misalnya dengan menggunakan pendekatan, strategi, atau metode (teknik) mengajar yang berbeda dari biasanya. Upaya (tindakan) tersebut akan dilakukan sekaligus diteliti proses dan keberhasilannya. Jadilah tindakan itu sebuah PTK.

c. Mengapa disebut penelitian

Penelitian tindakan disebut penelitian karena pada ketika guru melaksanakan tindakan (pemecahan masalah atau perbaikan keadaan yang ada) itu, pada ketika itu pula guru melakukan penelitian, pencermatan, atau pengumpulan data (dalam bahasa Inggrisnya disebut observation).

Istilah observation ini mengandung arti mengumpulkan data, bukan dalam arti sempit sebagai mengamati dengan pancra indera. Mengumpulkan data itu merupakan inti penelitian. Itulah sebabnya maka penelitian tindakan disebut penelitian, karena dalam melakukan tindakan pemecahan masalah atau peningkatan keadaan itu dilakukan observasi (penelitian) terhadapnya (terhadap tindakan).

Jadi:

Penelitian tindakan adalah PENELITIAN terhadap TINDAKAN. Tegasnya: Ada TINDAKAN, lalu tindakan itu ditindaklanjuti dengan PENELITIAN (tindakan dilakukan – lalu tindakan itu diteliti).

Jadi, penelitian tindakan itu bukan sekedar perbuatan melakukan tindakan (memecahkan masalah atau memperbaiki keadaan), dan bukan pula semata-mata sebagai suatu penelitian, melainkan paduan keduanya (tindakan dan penelitian). Jangan dibalik: Penelitian lalu tindakan. yang tepat: tindakan lalu penelitian.

Apa maksud meneliti tindakan?

Maksudnya, tindakan yang sedang dilakukan itu diteliti (diobservasi) seberapa efektif dan efisien dalam mengatasi masalah, atau memperbaiki keadaan. Jadi, sambil melakukan tindakan, diteliti pula kebaikan tindakan tersebut. Apanya yang diobservasi (diteliti)? Yang diteliti adalah (1) cara-cara (proses) melakukan tindakan dan (2) hasil (keberhasilan) pelaksanaan tindakan.

2. Hakekat masalah dan tindakan

Apa makna tindakan (action) dan apa pula makna masalah (problem) itu?

Di muka sudah diberi contoh. Mari kita perjelas. Ambil sebagai misal ada murid yang berbuat curang sewaktu ujian. Kecurangan dalam ujian itu merupakan suatu kesalahan (suatu problem). Murid yang melakukan kesalahan itu ditindak oleh guru. Tindakan apa yang dilakukan guru? Anda bisa berimajinasi mengenainya.

Samakah tindakan dengan perbuatan? Tidak sama. Agar jelas, tak perlu Anda mikir banyak, saya beri ilustrasi: Menguji itu perbuatan, bukan tindakan, karena perbuatan menguji itu “tidak menindak” apa-apa. Guru menguji itu untuk mengetahui seberapa terserap materi pelajaran oleh murid-murid yang diajarnya. Murid “tidak salah” apa-apa, karena belajar (menerima materi pelajaran) itu bukan pelanggaran.

Mengajar itu juga perbuatan, bukan tindakan, karena perbuatan mengajar itu “tidak menindak” apa-apa. Mengajar itu memberi tahu murid materi pelajaran yang mereka belum ketahui. Ketidaktahuan itu bukan kesalahan, bukan pelanggaran. Jadi tak perlu ditindak.

Paparan di atas hanya untuk memudahkan membedakan, sebab tindakan pun perbuatan juga, yaitu perbuatan menindak. Iya, kan?! Tapi, ada perbuatan yang bukan tindakan, begitu maksudnya. Dan penelitian tindakan itu penelitian mengenai tindakan, bukan mengenai perbuatan.

Akan tetapi, jangan salah, menguji dan mengajar itu bisa juga menjadi suatu tindakan. Nah, mari kita perjelas beda perbuatan menguji dan mengajar dari tindakan menguji dan mengajar.

Sering kali (maaf lho, ya!) jika sedang ujian ada saja mahasiswa yang nyontek atau tanya sana-situ. Lebih-lebih jika soal ujiannya “cekpoin.” Bagaimana mengatasi “masalah” tersebut (nyontek atau tanya–ini masalah, kan)?

Saya suka ubah pola ujiannya. Soalnya saya ubah dari “tertutup” menjadi open book. Jawabannya harus mikir, dan buka halaman tengah ke depan lalu ke belakang ke depan lagi. Mikir beneran. Daripada buka buku tidak legal (nyontek), kan lebih baik buka buku secara legal. Mau tanya kiri-kanan? Tak bisa, wong teman-temannya juga lagi sibuk mikir, sehingga malas menjawab pertanyaan teman (yang tak bisa dijawab gampang juga). Itu contoh menguji sebagai tindakan. Tindakan menguji secara open book.



Tindakan mengajar? Di atas sudah banyak contohnya: Mengajar dengan metode yang lain, mengajar dengan menggunakan alat bantu pengajaran yang lain, dsb.

Kembali ke contoh nyontek. Itu tadi perbuatan curang. Yang ditindak (diperbaiki) itu perbuatan curang (kecurangan) murid/mahasiswa, bukan muridnya/mahasiswanya! Sudah barang tentu sulit sekali untuk memisahkan keduanya (kecurangan dan murid yang melakukan kecurangan). Tapi begitulah filosofisnya. Yang ditindak itu masalahnya, bukan pembuat masalahnya.

3. Tindakan versus Perbuatan Mengatasi Masalah

a. Contoh perbedaan

Apakah setiap problem harus diatasi dengan PTK (penelitian tindakan)? Tentu tidak! Sulit menerangkannya. Coba diperjelas dengan ilustrasi: Jika ada murid yang beberapa bulan tidak bayar SPP, itu masalah (problem = harusnya bayar bulanan, nyatanya tidak bayar bulanan). Cara mengatasinya tentu bisa bermacam-macam, misalnya dibebaskan dari keharusan membayar SPP karena tidak mampu, diberi santunan oleh guru atau wali murid yang kaya dan dermawan, dan/atau disuruh membantu temannya belajar, menjadi tutor sebaya (karena ia pintar), dan diberi “uang lelah” agar bisa membayar SPP. Kegiatan tadi semuanya bukan tindakan mengatasi masalah, melainkan perbuatan mengatasi masalah. Tapi jika murid-murid banyak yang tidak membayar SPP karena bayaran SPP yang diberikan orang tuanya “diselewengkan,” mulailah ada masalah (problem: problem penyelewengan — melanggar aturan) yang memerlukan tindakan (action) perbaikan. Bisa “dirasakan” perbedaannya? Semoga demikian adanya.

b. Tindakan sesaat dan tindakan berlanjut

Jika ada murid yang salah mengerjakan soal matematika, maka guru bisa mengulangi menjelaskan cara mengerjakannya. Selesai. Murid sekarang bisa mengerjakan dengan benar. Ini perbuatan mengatasi masalah sekali selesai, bukan tindakan mengatasi masalah.

Ingat PTK itu penelitian terhadap tindakan untuk diperbaiki disempurnakan. Jadi, pasti tindakan itu akan dilakukan berulang-ulang. Kenapa harus berulang-ulang? Karena, walau PTK itu tidak untuk mengembangkan ilmu, tapi dikehendaki pula bahwa tindakan yang dilakukan itu benar-benar merupakan tindakan yang efektif. dari mana diketahui itu efektif? Dari beberapa kali dicoba dilakukan dan diperbaiki. Jadi, kira-kira sampai tertemukan “resep cara melakukan tindakan,” seperti cara memsak masakan yang baru.

Oleh karena itulah untuk melakukan PTK tidak boleh memilih hanya SATU materi pelajaran selesai. Misalnya hanya tentang sifat cahaya. Sifat cahaya itu hanya satu menit disebutkan, lalu satu menit lagi murid menghapalkan, maka pada menit ketiga murid sudah hapal semua. Cahaya itu merambat lurus, cahaya itu menembus benda bening, cahaya itu bisa dipantulkan. Titik. Peduli amat murid paham apa tidak.

Mungkin biar murid paham dijelaskan dan ditunjukkan contohnya. Satu jam pelajaran selesai. Lalu murid dites, disuruh menjelaskan. Yakin pasti murid tidak bisa menjelaskan, karena materinya tidak ada yang harus dijelaskan, cukup ditunjukkan. Ditunjukkan bahwa cahaya itu lurus,m tak bisa melengkung. Ditunjukkan bahwa cahaya bisa menembus benda-benda yang bening (kaca, misalnya). Ditunjukkan bahwa cahaya itu bisa dipantulkan (menggunakan cermin). Selesai. Apa tindakannya? Apa yang ditingkatkan? Tidak ada. Terlampau sederhana untuk diteliti apakah tindakannya baik (efektif) atau tidak.

Tapi, coba tanpa pemberitahuan (informasi) apapun tentang sifat cahaya murid diajak bermain-main dengan cahaya. Sediakan alat yang bisa mengeluarkan cahaya. Misalnya baterai (lampu sorot, senter). Sorot dengan baterai tangan yangberada dekat dinding. Ada bayang-bayang. Kenapa ada bayang-bayang? Pasti jawabannya bukan karena cahaya tidak bisa menembus benda yang tidak bening! Itu tidak menjawab kenapa ada bayang-bayang, tapi menjawab menembus tangan atau tidak.

Coba gerakkan senter ke depan dan ke belakang. Apa yang terjadi? Gerakkan ke samping kiri dan ke kanan. Apa yang terjadi? Sorot gelas yang ada dekat dinding. Ada bayangan? Sorot kertas utuh. Ada bayangan? Sorot kertas yang sudah dilubangi dengan jarum atau paku reng. Ada bayangan, atau ada cahaya di dinding? Gerakkan senter mendekat dan menjauh dari kertas berlubang itu. Apa yang terjadi “di dinding”? Kenapa?

Nah, yakin guru pun susah memberi penjelasan kepada murid-murid. Coba minta murid menyebutkan sifat-sifat lain dari cahaya selain yang tiga di atas! Guru kewalahan. Yakin. Coba saja jawab, apa yang terjadi dengan titik cahaya di dinding ketika senter dekat dan jauh dari kertas berlubang? Sifat apa dari cahaya itu? Merambat lurus, menembus benda bening, atau memantul? Jawab pula, kenapa di dinding terjadi seperti itu?

Coba pula sorotkan senter ke dalam air di dalam baskom. Apa yang terjadi? Coba sorotkan ke dalam botol atau toples berisi air. Ada apa di dinding botol atau toples? Nah, jika sorot-menyorotkan cahaya ini dilakukan dengan berbagai macam benda, maka sifat cahaya itu mungkin akan “ditemukan” murid sangat banyak sekali.

Apa yang ditingkatkan? Hasil belajar yang akan dites? Apanya yang dites? Padahal, jika anak lalu senang bermain-main dengan cahaya, dan sampai rumah pun terus mencoba-coba bermain-main dengan cahaya.Wow! itulah belajar! Creative learning, belajar aktif, dan terkembangkanlah dorongan ingin tahu anak yang merupakan akar dari jiwa peneliti.

Itu tidak sekali tembak, selesai! Terasa bedanya? Permainan cahaya tidak pernah akan selesai. Masih penasaran? Coba saja lepas kaca senter, biarkan bola lampu kecil itu tanpa penutup. Sorotkan ke dinding. Tutupkan lagi ke senter. Sorotkan ke dinding. Ada beda kekuatan (terang) cahaya di dinding? Kenapa? Nah, guru belum tentu bisa menjawab.

Jadi, yang paling sederhana, lakukan tindakan yang sama untuk (terhadap) beberapa materi pelajaran (satu atau setengah semester, paling tidak). Bisa? Kalau tidak, pasti tindakannya yang harus diubah, yang bisa digunakan untuk banyak materi. Itu jauh lebih bermanfaat dari hanya untuk satu materi. Kenapa? Kalau hanya untuk satu materi, apa gunanya penelitian? Tak bisa dicoba ditiru orang lain atau untuk materi lain.

Ingin contoh? Menganyam itu bisa menganyam daun pandan, bisa menganyam bambu, bisa menganyam kertas, bisa menganyam plastik, bisa menganyam janur. Kenapa? Karena sama-sama menganyam.

Tapi coba memukul paku. Tentu tidak sama dengan memukul bola kasti, memukul gamelan atau gong, dan memukul kepala ikan lele yang besar sekali. Padahal sama-sama memukul.

Melakukan percobaan tentu bisa untuk banyak sekali materi pelajaran yang memang bisa dicoba-coba, tapi tak bisa untuk materi pelajaran yang tidak bisa dicoba-coba. Mencoba memasukkan telur ke dalam gelas berisi air tawar yang sedikit-sedikit diberi garam berkali-kali dan diamati posisi telur di dalamnya, tidak bisa dilakukan dengan materi pelajaran perang Diponegoro. Praktek membuat bel listrik tidak sama dengan praktek membuat nasi goreng, walaupun sama-sama praktek.

Jangan lupa, dalam PTK selalu dipertanyakan yang ditindak itu apa, dan agar bagaimana. Tindakan berupa praktek itu untuk meningkatkan apa? Tindakan demonstrasi itu untuk meningkatkan apa? Tindakan menggunakan alat peraga itu untuk meningkatkan apa?

4. PTK Individual, Kolaboratif, Sesekolah

Sebelum lanjut, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa banyak salah paham tentang PTK. PTK yang digembar-gemborkan selalu PTK kolaboratif. PTK itu harus terjadi di antara minimal dua orang guru, yang satu mengajar yang satu mengobservasi. Ini benar-benar salah! Dan salah fatal. PTK kolaborasi itu bukan seperti itu.

PENELITIAN TINDAKAN KELAS ITUI BISA DAN BOLEH DILAKUKAN OLEH SESEORANG GURU SECARA MANDIRI, SENDIRIAN, TIDAK HARUS BERKOLABORASI ATAU BEKERJA SAMA DENGAN GURU LAIN ATAU DOSEN PT.

Sebagai catatan: Penelitian tindakan di sekolah itu lazim dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (a) individual–oleh orang per orang guru sendiri di kelasnya, (b) kolaboratif–beberapa orang guru bekerja sama, atau seorang guru didampingi dosen PT, (3) sesekolah (schoolwide)–untuk seluruh kasus sesekolah (prestasi belajar murid sesekolah, iklim/budaya sekolah, kompetensi guru sesekolah dsb.) dan dilakukan oleh seluruh staf sekolah.

Kalau dosen ingin melakukan PTK di SD (punya ide meningkatkan KBM di SD), misalnya, maka dosen itu harus melakukan PTK berkolaborasi (PTK kolaboratif–jenis kedua di atas), karena ia tak punya kelas. Yang punya kelas dan yang (sebaiknya) akan melakukan perubahan, guru itu sendiri. Maka, kerja samalah dosen itu dengan guru. Jadi, tidak ada kamus baku penelitian yang mengharuskan PTK-nya guru SD meminta teman guru lain ikut mengobervasi dirinya melakukan tindakan (seperti yang selama ini dilakukan beberapa guru yang melakukan PTK, karena salah paham seolah-olah PTK harus PTK kolaboratif). Jelasnya, guru “wajib” meminta temannya mengobservasi dirinya. Sekali lagi, tidak ada kamusnya itu! Itu salah fatal. Kolaborasi itu harus dengan yang ahli, atau sama-sama melakukan di kelasnya masing-masing dalam bingkai (disain penelitian) yang sama. Jadi, sama-sama guru SD kelas V melakukan penelitian dalam mata pelajaran yang sama, dengan tindakan yang sama, lalu berdiskusi tentang hasilnya, dan melakukan refleksi dan penyempurnaan bersama-sama pula. Itu contoh kolaboratif.

5. Langkah PTK

a. Analisis situasi: identifikasi masalah

Sebagai suatu problem solving, oleh karenanya, penelitian tindakan harus mulai dari identifikasi (meneliti, mencermati, mendata) masalah yang dihadapi. Guru (di kelasnya) mencermati ada masalah apa saja yang muncul (terjadi) di kelasnya. Ada yang menyebut ini dengan “analisis situasi.”

Konkritnya, pertama pelajari apa yang selama ini berlangsung di kelas Anda. Ingat kembali apa yang biasa berlangsung di kelas Anda. Dalam setiap pelajaran yang Anda ampu (jika di SD). Anda, sebagai guru, biasa mengajar dengan cara bagaimana? Menggunakan metode apa, menggunakan alat bantu pengajaran apa? Bagaimana perilaku murid? Adakah mereka serius, senang, riang gembira, bersemangat belajar ataukah sebaliknya. Bagaimana pula hasil belajar murid-murid. Nah, carilah titik lemah yang terjadi di kelas, terutama dari dua hal, yaitu (1) perilaku murid saat belajar, dan (2) hasil belajar murid.

Identifikasilah masalah-masalah tersebut. Lalu tetapkan masalah yang mana yang dianggap urgen (peting sekali) untuk dipecahkan (ditindak). Tentu dengan alasan yang logis. Pentingnya apa, manfaatnya apa. Cari yang paling mendasar, yang paling besar manfaatnya.

Jangan lupa: Bisa juga mulainya dari “punya keinginan memperbaiki atau meningkatkan keadaan yang ada sekarang” (Hehe, toh sama juga: ada “masalah” yang dirasakan perlu diperbaiki atau ditingkatkan, ya, kan?!!!). Lalu, apa yang harus dilakukan? Paparkan kondisi apa adanya kegiatan belajar mengajar yang biasa berlangsung di kelas Anda dalam beberapa tahun berselang. Apa adanya, tanpa harus menilai baik atau buruk, lemah atau kuat.

Jika ini yang dipilih, maka tidak ada identifikasi masalah, kzrena memang tidak mencari masalah. Yang dimunculkan apa saja yang bisa dan mungkin disempurnakan atau diperbaiki, dan perlu serta penting diperbaiki.

Misalnya dalam pelajaran Matematika. Guru melakukannya dengan memberi contoh mengerjakan soal di papan tulis, lalu murid latihan mengerjakan soal. Ini, jika dilihat dari pendekatan PAKEM (PAIKEM) belum tampak unsur M (menyenangkannya). Jadi, tentu akan lebih baik jika ditambahi unsur kegiatan yang membuat PBM menjadi menyenangkan.

b. Memilih tindakan

Setelah guru menemukan masalah (yang problematik, yang mengigit) untuk dilakukan tindakan (DAN PENELITIAN) terhadapnya, guru mulai dengan langkah kedua PTK, yaitu mencoba memikirkan cara-cara yang akan dijadikan tindakan mengatasi masalah tersebut. Tentu cara tersebut yang DIPERKIRAKAN akan menjadi yang paling efektif dan efisien. Dari mana cara itu diperoleh? Dari merenung-renungkan pengalaman sendiri dan orang lain, dan TENTU SAJA SANGAT DIANJURKAN dari membaca literatur.

Banyak ragam cara untuk mengatasi masalah PBM astau meningkatkan efektivitas PBM. Carilah yang paling cocok (sesuai) dengan materi pelajaran.

Yang dimaksud tindakan termasuk tindakan untuk memperbaiki atau menyempurnakan KBM yang selama ini dilakukan.

Jadi . . .

( 1) TEMUKAN MASALAH (YANG PROBLEMATIK)takeaction_logo

(2) BACA LITERATUR (DAN TANYA-TANYA SENIOR/AHLI)

(3) TEMUKAN PILIHAN (ALTERNATIF) TINDAKAN YANG AKAN DILAKUKAN (YANG DIPERKIRAKAN PALING BAIK)

Jika sudah terpilih satu atau beberapa alternatif tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah (atau meningkatkan keadaan sekarang), maka langkah berikut dilakukan, yaitu MERENCANAKAN (MERANCANG) tatacara atau prosedur melakukan tindakan.

Jadi . . .

(4) RANCANG (SKENARIOKAN) PELAKSANAAN TINDAKAN. Apa maksud dan kejelasannya? Rancang, misalnya, minggu ini, pertemuan ke…. (titik-titik), dengan pokok bahasan materi pelajaran ….(titik-titik), akan dilakukan KBM . . . begini begitu. Berikutnya seperti apa . . . berikutnya lagi seperti apa . . . .

Contoh:

Tujuan: Meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia lisan yang benar. (Sampingan: Keberanian berdiri di muka kelas. Sampingan proses: suasana belajar yang menyenangkan)

Tindakan: Murid menceriterakan sesuatu yang mereka akrabi (kenal dengan baik)

Kegiatan I: Minggu IV Juli , Hari Senin. Pokok Bahasan: Keluarga. Rancangan KBM: Murid membawa foto keluarga dari rumah. Setiap murid maju ke depan menceriterakan “identitas” keluarganya (ayahnya, ibunya, kakaknya, adiknya, kakeknya, neneknya dsb siapa namanya, umurnya, pekerjaannya dllsb.). Murid lain boleh bertanya. Tentu dengan bahasa Indonesia yang benar (tidak harus baik dan benar, karena komunikasi lisan!–kata Profesor bahasa Indonesia teman saya, lho!) Guru dan murid turut “membenahi” kalimat yang salah. Atau jika tersendat-sendat dituntun guru.

Kegiatan II: Minggu I Agustus, Hari Senin. Pokok Bahasan: Keluarga. Rancangan KBM: Seperti minggu sebelumnya, murid berceritera di depan kelas mengenai “sejarah” keluarganya (ayahnya berasal dari dusun mana, desa mana, kecamatan mana dsb.; ibunya juga, kakeknya juga, neneknya juga dll anggota keluarga). Alat bantu yang disediakan: peta Yogyakarta dan jawa Tengah (karena sebagian besar berasal dari situ–tapi saiap-siap peta Indonesia). Murid menunjukkan (dibantu guru) di mana letak daerah dimaksud.

Kegiatan III (dst.)

Ingat ini:

PADA SAAT MERANCANG TINDAKAN JANGAN TERBAYANGKAN “SIKLUS PENELITIAN TINDAKAN KELAS,” melainkan pada MATERI PELAJARAN YANG HARUS DITUNTASKAN. Jadi, bunyikan tahap-tahap pelaksanaan tindakan itu menjadi KEGIATAN I (apa), KEGIATAN II (apa), dan seterusnya menurut “minggu pertemuan di kelas” seperti antara lain dicontohkan di atas.

Ingat pula: Tindakan dalam seluruh kegiatan harus sama, yaitu (dalam contoh di atas) “berceritera yang mereka kenali secara akrab.” Kenapa yang akrab? Karena mereka punya bahan (materi) untuk diceriterakan. Tidak mengarang atau menghayal. Susah bagi mereka nanti. Nah, jadi yang sedang diteliti itu adalah cara mereka berceritera: (1) Apakah materinya mereka kuasai, tidak menyulitkan mereka untuk menceriterakannya; (2) Apakah murid-murid lain antusias (semangat) mendengarkan ceritera (mungkin kadang “nimbrung” bertanya, menambahi dsb.). (3) apakah kosa kata yang mereke gunakan sudah benar, sudah tepat. (4) Apakah susunan kalimat yang mereka gunakan sudah runtut. Dan sebagainya.

Sambil jalan guru melakukan pembenahan, menuntun kata-kata murid, memancing mereka untuk lancar berceritera. Dan sebagainya. Boleh juga guru berdiri di samping anak yang masih malu-malu, takut-takut, grogi, gemetaran dsb. Catat dalam hati semua peristiwa yang terjadi, kemudian catat dalam “catatan harian (journal PTK).”

Pada temu muka berikutnya proses (kegiatan) apa yang dirasa kurang baik dibenahi sedikit demi sedikit. Ini masih dalam siklus yang sama, masih siklus pertama. Kapan siklus keduanya? Nanti, setelah beberapa kali amatan (observasi, penelitian) terasa ada sesuatu yang “besar” yang harus diubah. Jika tidak ada yang terlampau “berat” untuk diubah, dan ternyata murid-murid sudah mulai lancar semua berceritera (ukuran lancar anak-anak), maka PTK sebenarnya sudah dianggap selesai.

Cek perbendaharaan kata mereka juga dengan tes (sekedar untuk mengukur penguasaan kosa kata). Ingat, tujuan utamanya adalah meningkatkan kemampuan anak berbicara lisan, bukan tulis. Jadi, tesnya ya tes lisan itu tadi (berceritera itu kan berbicara lisan). Jika sudah lancar dan benar, itu artinya merka sudah bisa berkomunikasi lisan bahasa Indonesia dengan baik. PTK sudah berhasil.

Jika “materi” yang harus diceriterakan terlampau sulit untuk murid-murid (ini yang diebut refleksi atau evaluasi), maka lakukan siklus kedua. Ubah materi yang harus diceriterakan. Cari yang lebih sederhana, yang lebih dikuasai murid. Susun skenario baru. Lakukan “tindakan.”

Anak-anak terlihat agak bosan? Cari selingan ringan (ice breaker = pemecah bongkahan es, pencair suasana). Ada nyanyian atau permainan yang relevan dengan tema pelajaan (tema keluarga)? Satu-satu, aku sayang Ibu, dua-dua . . .Ganti: Titik, Titik, itu nama Ibu/Joko, Joko, itu nama Bapak/ Agus, Agus, itu nama kakak/Dewi, Dewi, Dewi, itu nama Adik.

Anak-anak banyak yang orang tuanya berasal dari desa? Mari nyanyi: Desaku yang kucinta, pujaan hatiku, tempat ayah dan bunda (ganti: kakek dan nenek), dan handai tolanku (ganti: paman-pamanku) . . .

5. Siklus PTK

KemmisAR

Banyak dosen dan mahasiswa yang menganggap penelitian tindakan itu harus bersiklus-siklus karena definisinya sering kali menyatakan demikian (“Penelitian tindakan adalah proses penelitian yang bersiklus-siklus. Atau juga, ” Siklus merupakan salah satu ciri penelitian tindakan.” Dan sebagainya”). Lebih jauh lagi, karena Kemmis & MacTaggart menggambarkan penelitian tindakan itu dalam dua siklus atau lebih seperti gambar di atas, maka dianggap mutlak harus bersiklus-siklus. Bahkan ada yang “benar-benar ngaco” (maaf), yaitu menyebutkan penelitian tindakan harus dilaksanakan dalam dua siklus, karena gambar di atas terlihat ada dua siklus (cycle 1 dan cycle 2). Tak tercermati bahwa ada gambar berpanah ke bawah dari siklus 2 yang menunjukkan bisa ada siklus 3, siklus 4 dst.

Tentang ini perlu diperjelas demikian. Pertama, bahwa penelitian tindakan (termasuk PTK) itu dilakukan dalam beberapa siklus, mungkin terjadi, karena proses (tindakan, intervensi) yang dilakukan bisa diubah-ubah, dalam arti diperbaiki atau disempurnakan. Oleh karena ada perbaikan penyempurnaan itu, maka PTK bisa memerlukan beberapa siklus. Akan tetapi, itu tidak mutlakarus, sebab dapat saja dalam satu siklus PTK, PTYK itu sudah menghasilkan yang diharapkan (kondisi sudah baik, masalah sudah teratasi). Jadi, penelitian tindakan sudah dianggap selesai.

Kedua, siklus PTK kedua dan seterusnya (“revised plan” seperti tampak pada gambar di atas) dilakukan setelah ada refleksi, dan refleksi dilakukan setelah ada tindakan dan observasi. Jadi: (a) Jika berdasarkan refleksi penelitian sudah dianggap berhasil, maka penelitian selesai. (2) Jika berdasarkan refleksi masih perlu ada perbaikan, maka siklus kedua dilaksanakan. Oleh karena itu, maka pada saat menyusun proposal penelitian tidak bisa ditetapkan PTK akan terdiri sekian siklus, karena belum tahu keberhasilannya. Ingat sekali lagi: SIKLUS II, SIKLUS III dst. tergantung pada HASIL REFLEKSI (merenung, mencermati, mengevaluasi) SIKLUS SEBELUMNYA. Bagaimana akan merancang ulang tindakan ke-2 kalau tindakan ke-1 saja belum tahu kurangnya di mana, salahnya di mana, dan lemahnya di sisi mana, sebab baru menyusun proposal, belum melakukan PTK itu sendiri.

Perhatikan gambar proses penelitian tindakan menurut Susman berikut. Tidak ada siklus, tapi ada putaran (sebenarnya sama saja, tapi nuansanya berbeda).

Susman Action research

Langkah pertama, mendiagnosis masalah, yaitu mengidentifikasi (mencari, mendata, mencatat) dan menetapkan masalah (yang akan ditindak-teliti) beserta penyebabnya. Jadi, persis seperti dokter melakukan diagnosis penyakit, dicek sakitnya apa dan penyebabnya apa (agar bisa diobati dengan tepat).

Langkah kedua, merencanakan tindakan, yaitu mempertimbangkan (menimbang-timbang, memikirkan) berbagai pilihan (alternatif) rangkaian tindakan (jika dokter obatnya) yang akan dilaksanakan untuk mengatasi masalah yang sudah ditetapkan tadi.

Langkah ketiga, melakukan tindakan, yaitu menetapkan rangkaian tindakan yang akan dilaksanakan dan menerapkannya atau mengimplementasikannya. (Jika dokter, dalam hal ini pasien, meminum atau memakan obatnya).

Langkah keempat, mengevaluasi tindakan, yaitu meneliti menelaah berbagai “akibat” (konsekuensi) yang terjadi dari adanya tindakan. Tegasnya apakah tindakan sudah berjalan mulus dan mencapai apa yang dikehendaki ataun diinginkan, misalnya meningkatkan semangat dan minat/motivasi belajar murid, membuat murid senang melakukan kegiatan belajar, meningkatkan prestasi belajar murid, dsb. Jika orang sakit, apa sakitnya sudah sembuh.

Langkah kelima, melihat pelajaran berharga apa yang diperoleh dari melakukan tindakan, yaitu mencermati hasil dari penelitian tindakan tersebut, sudah efektif ataukah belum. Jika dokter, dokter mempelajari kondisi pasien setelah diobati.

Dari pencermatan tersebut, jika dirasa masih ada kekurangan atau kelemahan, dilakukan diagnosis lagi, seperti apa kekurangannya dan apa penyebabnya. Jika masih, maka kekurangan dan kelemahan itu dicari lagi kemungkinan-kemungkinan (alternatif) mengatasinya. Terus berputar seperti itu.

Ingat sekali lagi, evaluasi dilakukan manakala tindakan sudah dilakukan atau dilaksanakan. Tidak mungkin dilakukan sebelumnya. Jadi “putaran” berikut hanya akan terjadi manakala hasil tindakan itu sudah dievaluasi, dipelajarai, dan didiagnosis.

6. Mengapa Proses Penting

Cara (tindakan, intervensi) yang akan dilakukan itu tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang pasti “cespleng” (mujarab sekali) akan berhasil (dokter pun ada kalanya coba-coba dengan obat tertentu). Cara itu pun selalu akan secara operasional dianggap belum pasti: langkah demi langkah sampai detail tidak ada dalam literatur, apalagi kalau materi pelajarannya tidak sama. Anda, misalnya, akan menggunakan metode inquiry-discovery. Itu hanya “resep” umum. Bagaimana inquiry-discovery itu akan dilakukan dengan materi pelajaran yang harus Anda ajarkan? Sudah ada resep cara melakukannya? Belum, biasanya.

KARENANYA GURU HARUS MERANCANG SKENARIO PELAKSANAAN TINDAKAN itu sendiri. Karena dirancang sendiri itulah maka HARUS DITELITI pelaksanaannya, apakah sudah pas atau belum. Bisa jadi rancangannya tidak pas. Kurang ini, kurang itu. Sambil dilaksanakan selalu sambil ada perbaikan.

Contoh: Mahasiswa Jurusan Administrasi Pendidikan (AP) FIP IKIP (ketika itu, sekarang UNY) mencoba menarik minat belajar anak TK mengenal huruf dan angka. Mereka gunakan sejenis kartu domino, dinamakan APIKYO (AP IKIP YOGYAKARTA). Jadi, menggunakan metode permainan menggunakan kartu domino. Semua orang tahu kartu domino. Akan tetapi ini kartu domino yang lain, yang harus didisain sendiri. Kartu domino dibuat, ternyata ukurannya terlampu besar untuk anak TK. Pewarnaannya (angka yang sama diberi warna yang sama) juga salah, karena anak menjadi melihat warna, bukan melihat huruf atau angka. Itu yang dimaksud operasionalisasi. Orang lain bisa membuat kartu domino juga, tetapi mungkin saja menjadi tidak sama operasionalisasinya (kartu dominonya, atau cara memainkannya).

SALAH SATU YANG HARUS DIINGAT JUGA ADALAH BAHWA SETIAP SELESAI SESI PERTEMUAN TERTENTU DENGAN MURID, BUKAN TIDAK MUSTAHIL UNTUK PERTEMUAN BERIKUTNYA PERLU ADA PENYEMPURNAAN-PENYEMPURNAAN. Ini belum merupakan SIKLUS BESAR, tetapi selalu ada siklus-siklus kecil dalam pelaksanaan tindakan, KALAU “NGOTOT” MAU MENYEBUT SIKLUS ATAU PUTARAN. Mungkin lebih enak disebut kegiatan pertama, diteruskan kegiatan kedua, dan seterusnya.

Karena tindakan yang dilaksanakan dalam PTK itu masih dalam pertanyaan besar, yaitu bagaimana mengoperasionalkannya (menerapkannya) di kelas sang guru, dan akankah berhasil mengatasi masalah (meningkatkan keadaan) ataukah tidak, maka:

(5) PERTANYAAN PENELITIANNYA AKAN BERBUNYI: > Apakah cara X dapat efektif dan efisien mengatasi masalah (meningkatkan keadaan)? ==> Ubah jadi: Bentuk (cara) operasional (pelaksanaan) teknik/metode X yang seperti apa (yang bagaimana) yang efektif dan efisien mengatasi masalah (meningkatkan keadaan)?

Karena tindakan harus diteliti, maka harus dirancang (disiapkan) cara-cara (teknik) menelitinya (dalam hal ini cara menghimpun data: data apa yang akan dihimpun, dari siapa/sumbernya apa, dengan cara apa).

Jadi:

(6) TETAPKAN CARA (TEKNIK) MENELITI (MENGHIMPUN DATA) YANG AKAN DIGUNAKAN: OBSERVASI (PENGAMATAN VISUAL), WAWANCARA, TES DSB.

ADA PENELITI PTK YANG SUKA MENGGUNAKAN PRETES DAN POSTES. Memang mau ngetes apa? Itu kan MODEL EKSPERIMEN. PTK BUKAN EKSPERIMEN! PTK tidak bermaksud MENGUJI apakah CARA TINDAKAN (METODE X, misalnya) efektif atau tidak efektif meningkatkan prestasi belajar (dilihat dari analisis perbandingan hasil pretes dan postes).

Dalam PTK penggunaan METODE/teknik/strategi/pendekatan PBM (operasional pelaksanaannya) harus terus diperbaiki sampai benar-benar baik (efektif dan efisien) meningkatkan prestasi belajar (karena prestasi memang intinya tujuan pendidikan di kelas–tanpa melupakan proses: motivasi belajar, minat belajar, semangat belajar, kerja sama dsb).

Hasil penelitian PTK bukan berupa simpulan bahwa METODE ANU EFEKTIF MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR, melainkan PAPARAN (DESKRIPSI) BAGAIMANA menerapkan secara operasional teknis METODE ANU itu sehingga mampu meningkatkan prestasi belajar.

Karena PTK dilakukan secara hakiki bukan untuk menguji efektivitas sesuatu cara, maka PTK bukan penelitian dengan pendekatan UJI HIPOTESIS. Paradigma PTK adalah paradigma pragmatis (bermanfaat apa tidak untuk kehidupan keseharian; dan YANG BERMANFAAT YANG SEPERTI APA). Karenanya paparan deskriptif-naratif terurai lengkap bagaimana peneliti menggunakan sesuatu cara tindakan–termasuk salah-lemahnya, kekurangannya, dan perbaikan-perbaikannya, lebih penting dari menyimpulkan bahwa cara tertentu BENAR-BENAR EFEKTIF (seperti yang lazim dilakukan dalam penelitian varifikasi atau pengujian hipotesis).

Orang lain bisa meniru-coba keberhasilan metode/teknik tertentu itu jika jelas-gamblang bagaimana metode/teknik itu digunakan. Bayangkan jika ada orang yang SUDAH MENELITI berkata: DAUN SALAM (BENAR-BENAR) BISA MENURUNKAN DARAH TINGGI. Salah satu di antara kita ada yang punya penyakit darah tinggi, jadi tentu akan sangat tertarik sekali untuk mencoba berobat dengan daun salam. Tapi bagaimana caranya? Mau makan daun salam mentah banyak-banyak? Kambing aja gak doyan! Hehe . . . Kan harus jelas daun salam yang tua apa muda, yang kering apa basah, yang mulus apa bolong-bolong. Lalu daun salam itu diapakan: digodog, apa direbus siram pakai air panas, apa ditumbuk halus baru diseduh air panas, apa dikeringkan seperti teh untuk diseduh air panas? Dan, tentu saja: berapa banyak harus mengkonsuminya setiap hari. Sekarung???? Berapa hari pula meminumnya? Seumur-umur???

Itu yang diperlukan pembaca laporan penelitian PTK!!!

7. Data dan analisis data penelitian tindakan

Nah, ada yang bertanya bagaimana menganalisis data penelitian tindakan.
Kalau begitu, perlu dipertegas dulu bahwa yang dipermasalahkan dalam penelitian tindakan (kelas–PTK untuk mudahnya) ada dua, yaitu: (1) tindakan seperti apa yang efektif mengatasi masalah dan atau meningkatkan keadaan sekarang, dan (2) seberapa efektif tindakan itu mengatasi masalah dan atau meningkatkan keadaan.

Contoh: (1) masalahnya daya serap murid dalam pelajaran IPS rendah, (2) alternatif tindakannya menggunakan pendekatan PAKEM–operasionalnya menggunakan “permainan dan nyanyian”, (3) pertanyaan penelitiannya: (a) cara menggunakan PAKEM yang seperti apa yang efektif, dan (2) seberapa efektif pendekatan PAKEM meningkatkan kemampuan daya serap murid.

Jadi, data yang akan dicari: (1) cara menggunakan atau mengoperasionalkan pendekatan PAKEM dengan permainan dan nyanyian, (2) peningkatan daya serap murid.

Ingat bahwa “evaluasi penggunaan pendekatan PAKEM” tersebut bersifat “formatif” (dalam proses pembentukan), artinya sambil melakukan proses pelaksanaan atau kegiatan, dilakukan pula evaluasi untuk menyempurnakannya (me-”re-form”-asinya). Yang dievaluasi ya proses melakukan PAKEM, ya hasil belajar murid.

Jika nyanyian yang digunakan, maka yang diteliti dicermati antara lain apakah nyanyiannya sudah membuat anak senang, semua mudah menyanyikannya? Apakah nyanyiannya momot materi pelajaran IPS juga, tidak salah memuat materi? Sudah paskah lagu dan materinya, tidak bikin anak malah bingung? [Jangan lupa: ini dengan "asumsi" pelajaran IPS yang diajarkan yang hapalan--yang pemahaman tidak mudah untuk dinyanyikan]. Jika lagunya tidak pas, ya ganti lagu, gitu. Enak, kan, langsung ganti seketika tidak apa-apa. Tidak usah menunggu siklus-siklusan! Ingat, yang seddang di-tindak-kan itu menyanyinya, bukan lagunya. Di setiap pokok bahasan, di setiap jam pelajaran, pendekatan PAKEM-nya tetap menyanyi (menyanyikan istilah-istilah, tokoh-tokoh, tahun dan tanggal, peristiwa dsb) . Hanya lagu dan cara bernyanyinya yang mungkin diubah-ubah (adakala solo, duet, trio, kuartet, dan ada kala paduan suara).

Cek juga secara formatif, apakah anak-anak sudah mampu menangkap evaluationpelajaran dengan baik. Yang disebut baik itu, jika dites, maka yang mendekati benar lebih banyak. Jika ada 10 materi yang dihapalkan, misalnya, kemudian dites, jika mendekati 10 materi yang dihapalkan dengan benar oleh murid-murid, itu artinya sudah bagus. Jadi, tidak perlu ada pretes. Yang menjadi patokan “baik” atau “berhasil” atau “efektif” KBM itu jika nilai tes mendekati atau sama dengan 10 (dalam skala nilai 0 – 10 tentu saja). Jika semua atau sebagian besar anak bisa mendapat skor 10 itu artinya pelajaran (dan tindakan) berhasil, dan sebaliknya. Itu kuncinya! Bukan membandingkan hasil pretes dan postes. Tanpa “tindakan dan penelitian” pun pasti (kecuali ada yang salah) skor postes akan lebih tinggi dari skor pretes, karena anak yang tadinya belum tahu (hasil pretes pasti rendah), kemudian oleh guru diberitahu (diberi pelajaran, diajari), pasti skor postesnya akan lebih tinggi dari skor pretes. Jadi, yang tidak tahu (pretes), karena sudah diberitahu, maka pasti akan tahu (postes). Soal hapal atau tidak, itu persoalan lain. Jelasnya tidak tahu (pretes), lalu diberitahu, harusnya tahu tapi lupa, jadi sama juga tidak tahu (postes).

Bagaimana mendata anak senang? Dengan PAKEM kan antara lain biar senang (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan). Jadi, jika anak-anak semua A (aktif, yaitu misalkan semua anak “heboh” menyanyi, tak ada yang tidak menyanyi) dan ceria (M-menyenangkan, merasa senang), maka proses belajar mengajar sudah baik. Cek aja perilaku anak (dengan observasi atau amatan mata). Jika ada yang malas, bahkan “mogok’” nyanyi, nah itu artinya proses gagal.

8. Adakah hipotesis dalam penelitian tindakan?

Pertama, harus dipertegas dulu hipotesis itu apa. Salah satu rumusannya berbunyi menegaskan bahwa hipotesis itu merupakan suatu tebakan atau perkiraan atau jawaban sementara yang harus diuji kebenarannya dengan bukti-bukti empirik/kenyataan (“A hypothesis is a hunch or a shrewd guess or a tentative solution or an inference or sub-position to be tested by empirical evidences.”–WikiEducator). Jadi, semua kira-kira, perasaan kuat (“Rasanya cara ini bisa mengatasi masalah itu”) disebut sebagai hipotesis. Dalam arti ini penelitian tindakan tentu mengandung hipotesis. Bukan hanya penelitian tindakan, semua perbuatan manusia sehari-hari pun kerap kali mengandung hipotesis semacam itu. Simak ini: “Kok kayak ada yang bau-bau gitu? Jangan-jangan saluran gasnya bocor.” jangan-jangan itu merupakan suatu dugaan (= hipotesis).

Dalam penelitian, bukan yang seperti itu yang disebut hipotesis. Hipotesis didefinisikan sebagai pernyataan yang bersifat dugaan atau yang bersifat sementara mengenai hubungan antara dua atau lebih dari dua fenomena atau variabel (“Hypothesis is aconjectural statement, a tentative proposition, about the relation between two or more phenomena or variables”–Kerlinger). Misalnya berupa pernyataan bahwa ” Jika ada X . . . maka akan muncul Y.”

Kedua, ada pandangan bahwa penelitian dikatakan sebagai suatu penelitian ilmiah jika ada hipotesisnya. Jadi, jika tidak ada hipotesis, maka bukan penelitian. Kelanjutannya adalah bahwa setiap penelitian harus merupakan pengujian hipotesis. Jika tidak menguji hipotesis maka bukan penelitian.

Mengharuskan penelitian tindakan mengandung (mengemukakan, menyajikan) hipotesis, dari kedua pengertian hipotesis itu sama-sama salah. Dari sudut yang pertama, tidak ada gunanya merumuskan hipotesis yang berupa kira-kira, menurut perasaan, atau menduga-duga. Itu sesuatu yang dilakukan apa adanya saja, tanpa harus dituliskan, seperti yang kita lakukan sehari-hari ["Warung makan itu sepi banget, jangan-jangan masakannya tidak enak, jadi tak usah mampir makan ke warung itu, ke warung lainnya saja"--Ini cukup dibatin saja, langsung laksanakan, kan, tak perlu diutarakan?!]

Selain itu, penelitian tindakan akan berkutat dengan pergantian “hipotesis” terus menerus, karena akan selalu muncul dugaan-dugaan atau kira-kira. Kenapa? Karena tindakan yang dilakukan selalu dalam proses pengembangan penyempurnaan. Konkritnya, dalam praktek akan muncul seperti ini: Diduga jika menggunakan teknik A maka kegiatan dan hasil belajar murid akan meningkat. Eh, ternyata masih belum baik benar. Diduga-duga lagi cara yang lebih baik. Lalu ditindakkan. Eh, masih ada lagi kelemahannya. Diduga-duga lagi cara yang lebih disempurnakan. Dan seterusnya.

Kedua, dari sudut yang kedua, penelitian tindakan tidak bertujuan menguji hipotesis. Penelitian tindakan bukan penelitian “eksplanatif” (menjelaskan hubungan sebab akibat antar fenomena atau variabel). Penelitian pengujian hipotesis hanya benar dalam model pendekatan penelitian “theory-then-research” (teori dulu kemudian penelitian). Jelasnya, ada masalah, dicari jawabannya ke teori, “penyebab masalah” kata teori itu disebut hipotesis, lalu hipotesis itu diuji (dites) dengan bukti empirik.

Posting Komentar

0 Komentar