Cerpen : Respati Jenar
Lelaki itu kini sudah memiliki dua anak, ia pun tinggal di suatu tempat tetangga wilayah kabupaten. Ia merasa masih seperti tinggal di rumahnya sendiri ketika masih kecil. Meskipun rumah itu telah berubah bentuk menjadi rumah tingkat di desanya. Namun yang sedikit melegakan, pemiliknya tidak merobohkan dasar bangunan dan menyisakan tembok rumah. Setidaknya kalau ia menengok ke kampung halamannya, masih bisa melihat sebagian tembok yang belum dirobohkan. Kapanpun ia bisa mengunjungi, karena rumah itu disinggahi adik perempuannya beserta suami dan anak-anaknya.
“Ngapa kok ketok sedhih men, ta le ?” Pertanyaan itu tiba tiba membuyarkan lamunannya ketika perempuan tua itu menyapa anak lelakinya bernama Jenar, lengkapnya Respati Jenar, yang kebetulan mengunjungi ibunya. Perempuan yang telah berusia sekitar 8o tahunan itu tampak masih cekatan ketika menyapu halaman rumah anak perempuannya yang serumah. Sudah setahun yang lalu ia menjanda. Janda veteran, setidaknya ia memiliki pensiunan janda berkat perjuangan suaminya tatkala tahun 1948. “Apa kowe duwe utang ?” Tanyanya masih penasaran sikap yang diambil anak lelakinya itu. Jenar hanya tersenyum dan menggeleng untuk menyodorkan kebahgiaan untuk ibunya. Jenar menceritakan bahwa dirinya bai-baik saja, sehat bersama keluarga dan tidak memiliki hutang. Mengingat, ibunya sangat sedih bila ketujuh anaknya ada yang mempunyai hutang, sekalipun hutang di Bank tergolong lazim untuk jaman sekarang ini bagi warga di desanya. “Ya, wis. Ning rak tenant a le ?” Katanya masih belum begitu yakin.
“Boten, mbok…” Jawabnya sambil memijiti lengan keriput ibunya.
“Yen ngono aku tak nyang tegalan sik, ya. Golek janganan, nggo bojomu. Gawanen engko yen mulih” Katanya segera meninggalkan Jenar. Meski sudah dilarang berkali-kali, tetapi perempuan itu tetap saja nekat. Barang kali itulah kecintaan bisa membawakan hasil tanaman sayuran yang ia tanam sendiri untuknya yang tinggal jauh darinya. Maklum, hanya Jenarlah yang terpisah dari anak-anaknya yang kesemuanya tinggal satu kampung.
Bayangan aktivitas almarhum ayahnya menyemai kea lam pikirannya. Mbah Badroen bukan saja seorang veteran, akan tetapi juga pernah menjadi modin desa lebih dari dua puluh tahun dan naik pangkat menjadi bayan, baru kemudian pensiun. Satu hal yang menjadi kenangan terindah Jenar adalah saat bapaknya menjadi modin desa. Betapa tidak, dengan upah sawah satu bahu (kurang lebih 300 meter), beliau harus menghidupi tujuh anak dan seorang istri.
“Pokoke, pari iki kudu tekan panen candhake. Perkara jangan lan lawuh wis tak tandur ana kebon, karo ngingu iwak neng blumbang” begitu polosnya kata modin Badroen.
Pada suatu ketika ia meminjam uang karena kebutuhan yang sangat penting kepada saudaranya tidak diberi dengan alasan yang menyakitkan “Mula duwe anak ja akeh-akeh”. Menyakitkan memang. Badroen cukup tersinggung denmgan ucapan itu, akan tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa, terlebih yang dipinjami adalah saudara iparnya. Tentu ia merasa rendah karena kondisi ekonomi dan dianggap usianya lebih muda.
“Wiwit kuwi aku ora bakal utang dhuwit marang sapa wae, le” Kata-kata itu masih terngiang jelas di telinga Jenar saat bercerita padanya suatu ketika. Dan benar, kata-kata itu terbukti hingga ajal menjemput tatkala usai yasinan tiga harian di tetangga sebelah, disaksikan para jamaah pembaca yasin.
Badroen ketika menjadi modin rajin menjalankan tugas. Tugas utama di desa yang berkantor dib balai desa setiap senin dan kamis. Tugas sosial yang disampirkan sebagai modin desa, memandikan jenasah sampai proses pemakaman meski di tengah malam atau sudah dini hari, bila ada warga di desanya meninggal. Membantu proses perkawinan pada warga desanya yang hendak melaksanakan ijab, karena itulah beberapa tugas modin desa.
Ada kenangan yang mengesankan sekaligus memprihatinkan, anak-anaknya baru makan dengan lauk bila mendapat berkat (nasi lengkap dengan lauk pauk, sepotong daging ayam, kedelai goreng, sambal goring, krupuk merah dan dua buah pisang dari upah selamatan orang meninggal), termasuk juga bila makan dengan lauk daging sapi atau kambing. Karena biasanya, Badroen mendapat upah kepala binatang setelah yang punya hajat menyembelihnya. Maka kepala binatang itu akan menjadi santapan keluarga beramai-ramai setelah dimasak. Ada kenangan lain menjengahkan, saat dirinya dibuatkan baju warna putih dan celana putih. Saat ditanya, ternyata bahan baju dan celana itu sisa kain kafan yang diberikan keluarga korban untuk pak modin.
Jarang sakit, meskipun hanya masuk angin. Namun pada suatu ketika modin desa itu jatuh sakit demam. Tidak diketahui dengan pasti apa akibat demam. Maklum, sebagai orang desa tidak bisa detail mendeteksi kenapa demam. Pada suatu ketika ia bercerita pada Jenar yang kebetulan menengoknya.
“Ten dhokter, napa pak mantri nggih, pak ?” Bujuk Jenar sambil memijiti saat berbaring disampingnya.
“Mbok pijeti ngene iki dhela engkas rak mari” Jawabnya. Jenar hanya senyum.
“Nggiiih…” Kata Jenar. Jenar pun bangkit dan serius memijiti ayahnya, ia berharap agar ayahnya benar-benar mendapat aura penyembuh dari pijatannya.
Dengan menikmati pijitan putranya, Badroen bercerita asal mula mengapa dirinya mengalami demam ytang telah dirasakan dua hari. Katanya: “Sawise kondangan tak dongani nggon slametan merti desa, aku enggal mulih. Bengine nalika aku turu, aku ditekani menungsa pengawak jin sing wilangane punjul saka lima. Para jin kuwi ora trima karo aku, marga rumangsa dipageri, dheweke ora bisa metu…” Badroen menjelaskan perasaan kronologisnya.
“Lajeng, pak ?” Tanya Jenar penasaran ingin tahu yang dimaksudkan metu atau keluar itu. serius. Menurut keterangannya, ternyata para jin itu telah dibelenggu oleh kekuatan doa modin Badroen. Badroen terus kukuh, tidak akan melepaskan belenggu itu, karena merekalah yang membuat keresahan warga. Maka terjadilah perdebatan bahkan perkelahian, Modin Badroen dikeroyok wujut jin, akan tetapi lelaki itu tidak gentar. Pertaraungan cukup seru, baru tersadari saat ia dibangunkan istrinya. Dan tubuhnya menggigil demam. “Ngono le, critane” jelas Badroen pada Jenar dengan tubuh berangsur normal suhu badannya. “Wis kringeten ta ?, iki genah wis mari le” Katanya bangun dari tidurnya dan wajahnya tampak mulai cerah.
“Alhamdulillah, pak”
“Ora karo bojo lan anakmu ta, kowe rene ?”
“Boten. O nggih, pak. Pripun, jenengan ngantos sepriki boten gadhah utang kalih tiyang sanes ?” Godanya mengenang. Yang ditanya hanya ketawa. Sambil menjawab bahwa dirinya memang tidak pernah punya hutang kepada orang lain seetelah peristiwa menyakitkan kala itu.
“apa maneh, bapakmu iki oleh blanja negara wujut pengsiunan veteran. Dadi wis turah nggo urip karo mbokmu saben dinane”
“Ning kula bombong, yen kula diarani anak modin, pak” Komentar Jenar. Yang mendengar tertawa lirih, tampak keriput wajahnya telah berlipat-lipat karena usianya yang memang telah senja, 85 tahun, kenangnya menyapu masa silam ketika dirinya menjadi modin desa.
0 Komentar