Terbaru

6/recent/ticker-posts

Contoh PTK MTs: Peningkatan hasil belajar IPA siswa MTs melalui pendekatan Kontekstual.


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam era globalisasi sekarang ini diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi (kemampuan) dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penguasaan ilmu dan teknologi tidak bisa dilepaskan dengan penguasaan sains, oleh karena itu penguasaan ilmu IPA harus diupayakan melalui peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran ilmu IPA mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi. Salah satu usaha pemerintah yang telah dilaksanakan adalah dengan pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). Siswa belajar sains tidak hanya sekedar belajar informasi tentang konsep, fakta dan hukum dalam wujud pengetahuan secara deklaratif (pernyataan) akan tetapi belajar IPA juga belajar tentang cara memperoleh pengetahuan IPA, cara IPA dan terapan IPA yang bekerja dalam wujud pengetahuan prosedural termasuk kebiasaan bekerja ilmiah dengan metode dan sikap ilmiah (Depdiknas, 2002). Dikelas guru memegang peranan penting dalam upaya menggali dan mengembangkan potensi dan kemampuan siswa dalam mengenali, memahami dan menerapkan konsep-konsep IPA yang terwujud dalam pembelajaran IPA di kelas.
Potensi dan kemampuan siswa tersebut salah satunya daat dipersentasikan melalui tingkatan hasil belajar siswa yang dicapainya. Teknik penyampaian materi pelajaran IPA selama ini cenderung masih menggunakan informasi yang semata-mata hanya ingin menghabiskan materi pelajaran.
Pembelajaran seperti ini ternyata menghasilkan kebermaknaan yang relatif rendah, siswa cenderung menghafal konsep-konsep IPA dibandingkan menggunakan makna IPA yang sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran seperti ini akan menumbuhkan anggapan bahwa IPA hanya untuk dihafal sehingga menjadi kurang menarik karena sering lepas konteks yang justru bertentangan dengan definisi sains. Fakta-fakta IPA bersifat objektif oleh sebab itu IPA hendaknya diajarkan secara kontekstual, agar pembelajaran secara kontekstual dapat bermakna bagi siswa maka pengetahuan awal sangat penting untuk dijadikan pijakan pembelajaran. Dochy (1996) dan Duit (1996) menyatakan bahwa pengetahuan awal adalah landasan bagi pembelajaran bermakna. Salah satu faktor penyebab hasil belajar siswa kurang maksimal antara lain rendahnya kualitas proses pembelajaran. Berdasarkan data yang didapatkan terungkap bahwa hasil ulangan formatif sains siswa kelas VII MTs Negeri Seririt masih relatif rendah. Masih banyak siswa-siswa yang mendapatkan nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yaitu 6,00. Hal ini menyebabkan guru dan siswa harus menambah jam untuk melakukan remedial dan Her pada setiap ulangan harian.
Rendahnya hasil belajar tersebut salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya penguasaan kompetensi dasar IPA yang dicapai siswa. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut tampaknya proses pembelajaran IPA perlu dioptimalisasi kualitasnya dalam rangka membantu siswa untuk memperoleh hasil pembelajaran yang optimal. Sesuai dengan tujuan pendidikan sesungguhnya adalah memfasilitasi siswa untuk belajar sepanjang hayat. Konsep belajar sepanjang hayat mengacu pada empat pilar pendidikan yang bersifat universal yaitu belajar mengetahui ( Learning to know ), belajar bertindak ( learning to do ), belajar mengenali jati diri ( learning to be ) dan belajar hidup dalam kebersamaan ( learning to life together ) ( Murdiyatmoko dan Handayani, 2004 ). Penerapan pertanyaan-pertanyaan yang kontekstual hanya dapat memfasilitasi siswa untuk mencapai pilar dua, tiga dan empat, untuk memfasilitasi pencapaian pilar yang ke satu yaitu belajar untuk mengetahui (learning to do) maka tindakan yang dapat dipakai yaitu strategi kontrukstivisme sebagai seting dalam pembelajaran. Berdasarkan uraian tersebut, penerapan pembelajaran bermakna dengan menggunakan seting pembelajaran kontruktivisme diyakini dapat memfasilitasi siswa untuk mencapai hasil yang optimal untuk mata IPA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka diajukan permasalahan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Peningkatan hasil belajar IPA siswa MTs melalui pendekatan Kontekstual ?
2. Bagaimana peningkatan hasil belajar IPA siswa MTs dengan penggunaan lembar kegiatan siswa yang kontekstual ?
C. Tujuan
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran IPA di MTs Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar IPA siswa MTs melalui pendekatan Kontekstual.
2. Mendeskripsikan langkah-langkah peningkatan hasil belajar IPA siswa MTs melalui pendekatan Kontekstual.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teoritis
1. Hakekat IPA dan Pembelajaran IPA
Beberapa pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang dikemukakan para ahli diantaranya: (1).Kemeny, menyatakan bahwa IPA merupakan semua pengetahuan yang dikumpulkan melalui metode ilmiah. (2) Callagett, mengemukakan bahwa IPA memuat dua hal yang terdiri atas pengertian yang teratur dan sistematis, paparan dan penjelasan mengenai fenomena alam serta sains, mengerjakan sesuatu yang penting untuk memahami fenomena tersebut.( Henson, dalam Adyani 2003 ). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa IPA memiliki tiga pengertian umum yaitu IPA sebagai produk, IPA sebagai proses dan IPA sebagai sikap.
IPA sebagai produk dapat diartikan sebagai kumpulan informasi/fakta yang dihasilkan dari proses-proses ilmiah yang dilandasi sikap-sikap ilmiah. Produk sains dapat berupa konsep, fakta, hukum dan teori. IPA sebagai proses dapat diartikan sebagai aktivitas atau proses untuk mengambarkan fenomena alam. Aktivitas atau proses itu antara lain merumuskan masalah, merencanakan eksperimen (percobaan), observasi, merumuskan hipotesis, mengklasifikasi, menginterpretasi data, menyimpulkan, meramalkan dan mengkomunikasikan hasil. Proses-proses tersebut sering disebut sebagai proses IPA, yang dilandasi oleh sikap ingin tahu, jujur, objektif, kritis, terbuka, disiplin dan teliti sikap ini sering disebut sebagai sikap ilmiah.
Kaitannya dengan pembelajaran IPA hakekat sains mempengaruhi penyelenggaraan pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA harus dapat membangun mental, ketrampilan komulatif dan sikap kebersamaan membangun ide-ide atau gambaran terhadap dunia sekitar. Dengan demikian dapat dikembangkan tiga tujuan pembelajaran IPA yaitu pengembangan pribadi dan sosial, pemahaman prinsip dan fakta ilmiah dan kemampuan dalam menerapkan fakta ilmiah. Tujuan pertama mengarah pada sikap afektif, tujuan kedua dan ketiga mengarah pada penguasaan produk IPA dan ketrampilan proses IPA.
Pakar pendidikan seperti Dewey, Brurner, Gagne dan Piaget telah lama mengemukakan bahwa ciri IPA adalah penyelidikan, sehingga pembelajaran IPA dilakukan dengan modus yang sama. Siswa seharusnya mengalami sendiri tahap-tahap penyelidikan selama mempelajari konsep IPA. Belajar IPA diperlukan keterampilan proses yang melibatkan aspek fisik dan kognitif, serta siswa membangun sendiri pengetahuannya secara aktif. Hal ini bisa tercapai dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan dalam pembelajaran IPA.
2. Pembelajaran Kontekstual
Model pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) menekankan pada kegiatan proses belajar mengajar yang berbasis pada masalah dunia nyata yang dihadapi siswa dengan melibatkan sumber belajar nyata yang ada disekitar siswa. Penerapan pembelajaran ini sangat cocok diterapkan di dalam IPA, hal ini dimaksudkan untuk menghubungkan konteks materi ajar dengan dunia nyata dan memotivasi siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dan penerapannya dalan kehidupan nyata. Dengan demikian pembelajaran dengan kontekstual lebih bermakna.
Pembelajaran kontekstual dapat diterapkan melalui strategi-strategi sebagai berikut ( Depdiknas ,2003 ) :
1. Menekankan pada pemecahan masalah.
2. Menyadari kebutuhan akan pembelajaran yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti dirumah, masyarakat dan lingkungan kerja.
3. Mengajar siswa memonitor dan mengarahkan pembelajarannya sendiri
( menjadi pembelajar mandiri )
4. Mengkaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda.
5. Mendorong siswa untuk belajar antar sesama dan teman dan belajar bekerjasama.
6. Menerapkan penilaian autentik.
Penilaian autentik adalah penilaian yang secara langsung mengukur performance (kinerja) aktual (nyata) siswa dalam hal-hal tertentu. Penilaian Autentik merupakan penilaian yang berusaha mengukur atau menunjukkan pengetahuan dan keterampilan siswa dengan cara menerapkan pengetahuan dan keterampilan itu pada kehidupan nyata.
Penerapan strategi-strategi pembelajaran kontekstual tersebut memberi implikasi pada perlunya pemberian bantuan dalam proses pembelajaran melalui kolaborasi teman sebaya yang lebih kompeten, untuk mewujudkan belajar berkolaborasi salah satu cara adalah mengupayakan pengaturan kegiatan kelas dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pengunaan lembar kerja siswa pada dasarnya yang sering digunakan oleh guru pada dasarnya menekankan pada proses penemuan pada siswa artinya lembar kerja siswa dirancang sedemikian rupa sehingga jawaban siswa mengarah pada konsep yang diharapkan serta dipahami oleh siswa secara holistik. Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual.
3. Kontruktivisme Dalam Belajar
Kontruktivisme merupakan landasan filosofi pendekatan kontekstual bahwa pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit dari konteks yang terbatas menuju ke kontek yang lebih kompleks. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa dituntut untuk mengkontruksi dan memberi makna pengetahuan itu melalui pengalaman nyata mereka sendiri. Dalam pandangan kontruktivisme ”strategi memperoleh ” lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan, oleh karena itu tugas guru sebagai fasilitator dapat dilaksanakan secara optimal.
Driver dan Oldham ( dalam Istini ) menyatakan bebrapa ciri mengajar kontruktivisme sebagai berikut :
1. Orientasi yaitu siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik melalui kegiatan observasi.
2. Elicitasi yaitu siswa dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat sebuah karya dan lain-lain yang menunjang proses belajar.
3. Restrukturisasi ide yaitu mencakup tiga hal yang harus diperhatikan:
a. Klarifikasi ide yang dipadukan dengan ide-ide orang lain atau teman sejawat melalui diskusi maupun melalui pengumpulan ide, berhadapan dengan ide-ide orang lain, seseorang dapat terangsang untuk mengkontruksikan gagasannya kalau tidak sesuai atau sebaliknya menjadi lebih yakin bila gagasannya sesuai.
b. Membangun ide yang baru. Ini dapat terjadi dalam diskusi dimana idenya bertentangan dengan ide yang lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman.
c. Mengevaluasi ide baru melalui eksperimen bila dimungkinkan ada baiknya gagasan yang baru diuji melalui suatu percobaan atau persoalan yang baru.
4. Penggunaan ide dalam banyak situasi yaitu ide atau pengetahuan yang dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi sehari-hari.
5. Review dapat dilakukan dengan mengaplikasikan pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari.
Tugas seorang guru, menurut prinsip kontruktivisme adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu proses belajar siswa agar berjalan dengan baik. Tekanannya ada pada siswa, bukan pada guru yang mengajar sesuai dengan tuntutan kurikulum tingkat satuan pendidikan .
4. Penggunaan Lembar Kerja Siswa Kontekstual
Penggunaan lembar kerja siswa kontekstual dalam proses belajar mengajar dapat memudahkan guru untuk mengelola proses belajar mengajar, sehingga dapat merubah pandangan bahwa guru sebagai sentral, artinya guru menerangkan, mendikte, dan memerintahkan sedangkan siswa hanya mendengar, mencatat dan mematuhi semua perintah guru sehingga siswa yang menjadi sentralnya yaitu siswa memperoleh informasi dari berbagai sumber serta dapat menemukan konsep secara mandiri.
Jerrel E. Kemp dan asril Marjohan ( dalam Gita, 2003 ) menyatakan alasan –alasan yang mendasari perlunya lembar kerja siswa yaitu dapat :
1. Dapat meningkatkan jenjang belajar maupun kadar ingatan siswa, sehingga jumlah yang gagal dan menunjukkan kinerja yang tidak memuaskan dapat dikurangi.
2. Memberikan kesempatan yang lebih kepada siswa yang lamban maupun cepat untuk menyelesaikan pelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing.
3. Siswa dapat bekerja secara mandiri sehingga menumbuhkan rasa percaya diri siswa.
4. Kegiatan dan tanggung jawab pengajar cukup besar dan perlu waktu lebih banyak dalam memantau siswa.
Berdasarkan paparan tersebut diyakini bahwa penggunaan lembar kegiatan siswa kontekstual dapat mengarahkan siswa untuk bisa mengkaitkan konsep yang dipelajari dengan kejadian yang ada dalam kehidupan sehari-hari dan dunia nyata siswa, menumbuhkan kemandirian siwa, menghemat waktu, memberi kesempatan yang lebih banyak bagi pengajar untuk melakukan bimbingan individu maupun kelompok yang semua ini diharapkan mampu bermuara pada peningkatan hasil belajar siswa.
5. Kompetensi Dasar IPA Siswa
Kompetensi merupakan kemampuan yang secara umum harus dimiliki oleh seorang lulusan. Terkait dengan hal ini ada bebrapa pengertian kompetensi yang dikemukakan oleh para ahli ( dalam Santiyasa, 2003 ) diantaranya :
1. Spencer menyatakan kompetensi adalah bagian dari kepribadian individu dan dapat memprediksi perilaku dalam berbagai situasi .
2. Amstrong mendefinisikan kompeten dan kompetensi berbeda. Kompeten menyatakan apa yang dibutuhkan oleh individu untuk melakukan pekerjaan dengan baik, sedangkan kompetensi lebih mengarah kepada bagaimana melakukan pekerjaan.
Berdasarkan pendapat tersebut, kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus dapat memungkinkan seorang anak untuk menjadi kompeten artinya memiliki pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan tugas. Kompetensi dasar merupakan kemampuan minimal atau memadai tentang pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam berfikir dan bertindak. Setelah siswa menyelesaikan suatu aspek mata pelajaran menuntut kompetensi siswa untuk mempunyai pengetahuan dan ketrampilan serta karasteristik yang mendukung.
B. Keadaan Riil
Guru pada umumnya mengajar dikelas secara konvensional yaitu menceramahi siswa mengenai definisi-definisi, konsep-konsep atau prisip-prinsip IPA. Dalam pembelajaran ini kegiatan siswa yang menonjol biasanya lebih banyak mencatat, membaca dan mendengarkan informasi yang diberikan oleh guru. Masing-masing individu memiliki keterbatasan dalam menyimpan informasi. Hal ini menyebabkan kesulitan bagi siswa bertanya kepada guru dalam usaha menguasai materi yang diajarkan. Disisi lain kesempatan siswa bertanya kepada guru sangat terbatas karena pola interaksi yang searah serta peran siswa sangat pasif sebagai pendengar saja . Hal ini memberikan implikasi yang kurang baik terhadap penguasaan materi bagi siswa.
Dari hasil pengamatan terdapat beberapa permasalahan pembelajaran IPA pada MTs yang berhasil diidentifikasi sebagai berikut :
1. Guru belum mengoptimalkan pemberdayaan aktivitas eksperimen pembelajaran sains secara seimbang. Guru masih enggan memanfaatkan fasilitas laboratorium yang tersedia untuk menyediakan pengalaman (experience) belajar pada siswa dalam bentuk kegiatan eksperimen (percobaan di laboratorium) untuk membantu tercapainya kompetensi pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor pada diri siswa melalui pemberian pengalaman sains yang bersifat ilmiah.
2. Guru berasumsi bahwa pengalaman IPA dalam bentuk kegiatan eksperimen/demonstrasi akan banyak menyita waktu sehingga pembelajaran IPA terfokus pada penyapaian konsep,prinsip,hukum-hukum yang digunakan untuk menyelesaikan soal ulangan. Kegiatan eksperimen/demonstrasi bersifat insidental saja.Dengan demikian belajar IPA hanya bersifat mekanistik tanpa pernah menyentuh struktur kognitif siswa, padahal aktivitas siswa dalam mentransformasi pengalaman IPAnya memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap pencapaian kompetensi dasar siswa. ( Kemal Ahmet,1994 )
3. Guru jarang menggali dan menggunakan pengalaman awal IPA siswa sebagai apersepsi (starting point) dalam merancang pembelajaran siswa
4. Guru kesulitan dalam merancang pembelajaran IPA siswa yang dapat memberikan pengalaman IPA siswa sehingga mendorong terjadinya proses transformasi pengalaman IPA sehari-hari menuju pengalaman IPA yang ilmiah, yang pada akhirnya dapat mencapai kompetensi IPA siswa yang optimal.
5. Banyak siswa menganggap IPA adalah pelajaran yang sulit dan rumit karena banyak terdapat konsep-konsep, hafalan-hafalan,rumus-rumus dan perhitungan-perhitungan yang sebagian besar terlepas dari pengalaman sainsnya sehari-hari. Pembelajaran IPA hanya menekankan produk IPA yang membuat siswa kurang berminat untuk belajar IPA sehingga tidak mengherankan aktivitas belajar siswa yang teramati di MTs masih relatif rendah.
6. Berdasarkan pengamatan yang terungkap yaitu hampir sebagian besar siswa kurang mendapatkan pengalaman IPA yang dapat digunakan untuk memecahkan pemasalahan sehari-hari.
C. Analisis Pemecahan Masalah
Pada tahap awal kegiatan pelaksanaan proses pembelajaran, terlebih dahulu disampaikan kepada siswa bahwa kegiatan pembelajaran IPA dikelas akan dilaksanakan dengan menyampaikan kepada siswa tentang pendekatan yang akan digunakan dalam pembelajaran dan memotivasi siswa sesuai dengan rencana atau skenario pembelajaran. Menyampaikan topik yang akan dibahas, Standar kompetensi,kompetensi dasar dan indikator keberhasilan.
Membagikan masing-masing Lembar Kegiatan Siswa sebagai penuntun dalam melaksanakan pembelajaran. Pada tahap pelaksanaan guru mengemukakan masalah dan siswa diberi kesempatan bertanya tentang masalah tersebut membuat hipotesis atas pertanyaan yang diajukan. Siswa diberi kesempatan mengumpulkan data yang relevan sebanyak-banyaknya melalui kegiatan observasi,eksperimen dan bertanya. Data yang diperoleh dianalisis. Siswa diberi kesempatan bertanya sampai mereka mampu untuk mengambil keputusan. Pada tahap penyelesaian guru bersama-sama siswa membahas pendapat atau kesimpulan yang diberikan siswa atas dasar data yang diperoleh. Pengambilan kesimpulan dilakukan oleh siswa dan memberikan tes kecil pada siswa untuk mengetahui penguasaan konsep terhadap materi yang diajarkan.
Pengunaan lembar kerja siswa yang kontektual akan memberikan peluang yang baik bagi siswa untuk mengembangkan kreativitas masing-masing sehingga akan dapat mengatasi perbedaan kemampuan siswa dalam hal menyerap informasi-informasi yang sedang dipelajari. Dengan memberikan kesempatan yang sebanyak-banyaknya untuk berkreativitas dalam belajar, akan memerikan kesempatan yang banyak pula pada siswa untuk menemukan konsep dengan menggunakan metode ilmiah seperti apa yang dilakukan oleh para ilmuwan, maka akan meningkatkan konsep diri dan kompetensi dasar IPA siswa.
Menumbuhkan dan mengembangkan konsep diri IPA siswa melalui kegiatan-kegiatan ilmiah dalam proses belajar mengajar yang merupakan hal yang sangat penting. Dalam hal ini siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan secara verbal dan visual saja, akan tetapi diajak melalui suatu kegiatan dan perbuatan. Hal inilah yang menyebabkan pengalaman belajar yang diingat siswa bertahan lebih lama dalam benaknya.
Dari paparan diatas jelas bahwa penerapan lembar kerja siswa dalam pembelajaran IPA akan memberikan dampak yang positif terhadap konsep diri siswa yang nantinya akan bermuara pada peningkatan hasil belajar siswa (aspek kognitif ), ketrampilan proses (aspek psikomotorik), dan perbaikan sikap (aspek afektif). Dengan demikian diharapkan terjadi peningkatan yang simultan dari ketiga aspek kompetensi dasar siswa.
Pembelajaran kontekstual yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan yang atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya. Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu maupun kelompok.
Dengan demikian, guru dituntut untuk menggunakan strategi pembelajaran kontekstual dan memberikan kegiatan yang bervariasi, sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa, mengaktifkan siswa dan guru, mendorong berkembangnya kemampuan baru, menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah, responsif, serta rumah dan lingkungan masyarakat. Pada akhirnya siswa memiliki motivasi tinggi untuk belajar.
Namun dalam keseharian, guru masih terjebak pada filosofi dan pendekatan lamanya. Hal ini nampak jelas pada evaluasi yang mereka lakukan. Evaluasi yang digunakan oleh para guru di lapangan masih berpedoman pada paradigma lama yang hanya mengukur kemampuan kognitif dengan bentuk-bentuk evaluasi yang hampir tidak berubah sama sekali dengan kurikulum sebelumnya.
Kendala utama yang dialami guru adalah ketidakpahaman mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluasi dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assessment (penilaian) lama dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang berdasarkan aspek kognitif semata. Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para guru tidak mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses peningkatan kegiatan belajar mengajarnya.
Ada beberapa strategi pengajaran yang perlu dikembangkan guru secara kontekstual antara lain, Pertama, pembelajaran berbasis masalah; Sebelum memulai proses belajar-mengajar di kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu dan siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Di sini guru merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada serta mengarahkan siswa bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.
Kedua, memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar; guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa misalnya, di sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakatnya serta penugasan siswa untuk belajar di luar kelas. Ketiga, memberikan aktivitas kelompok; Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima, maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.
Keempat, membuat aktivitas belajar mandiri; Peserta didik diarahkan untuk mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).
Kelima, membuat aktivitas belajar bekerja sama dengan masyarakat; sekolah dapat melakukan kerja sama dengan institusi pemerintah/swasta dan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung di mana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan.
Keenam, menerapkan penilaian autentik; Dalam pembejalaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002:165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar.
Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portofolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis. Sebagai penjabarannya antara lain, portofolio; merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar sekaligus memberikan kesempatan luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembejalaran aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survei mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.
Tugas kelompok; dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan projek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Is dari projek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok projek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.
Demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.
Menurut Brooks & Brokks dalam Johnson (2002:172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan keterampilan berpikir yang lebih tinggi guna membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, secara filosofis maupun praktis guru harus paham hal-hal mendasar seperti prinsip belajar otak kiri dan kanan, pendekatan Quantum Teaching and Learning, pemahaman tentang Multiple Intelligences dan penerapannya di kelas, Taksonomi Bloom dan aplikasinya pada proses belajar mengajar, metode pengajaran dan pembelajaran secara kontekstual, mengakses dan memanfaatkan internet sebagai wahana belajar, menghubungkan materi yang diajarkan dengan materi pelajaran lain.
Dari yang dikemukakan di atas, kurikulum berbasis kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar. Dan strategi pembelajaran kontekstual, memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan berbagai model pembelajaran yang berbeda dan menarik untuk lebih mengembangkan daya pikir siswa ke arah yang produktif berpikir.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Memberi kesempatan kepada guru yang terlibat secara aktif dalam suatu penelitian tindakan kelas yang bersifat kolaboratif dalam rangka perbaikan kualitas pembelajaran IPA di MTs, sehingga dapat memberi kontribusi yang sangat strategis kepada program pemerintah guna meningkatkan sumber daya manusia khususnya guru dalam mengelola proses belajar mengajar.
2. Konsep pembelajaran kontekstual sangat penting dalam pembelajaran IPA, pertanyaan-pertanyaan yang dikemas secara kontekstual sangat bermanfaat bagi guru dan siswa untuk mewujudkan pembelajaran yang realistik. Bagi guru manfaatnya adalah memposisikan diri sebagai fasilitator serta pembelajaran lebih dinamis dan bermakna.Bagi siswa manfaatnya adalah memposisikan siswa sebagai pelajar sekaligus pembelajar karena dengan kontekstual mereka akan mengalami proses belajar mengetahui ( learning to know ), belajar bertindak (learning to do ), belajar mengenali jati diri ( learning to be) yang sangat bermanfaat bagi kehidupan nyata.
3. Kontekstual dalam Penelitian tindakan kelas ini juga mengacu pada konteks kehidupan masyarakat, karena dalam proses pembelajaranya menggunakan seting kontruktivisme yang dapat membangun pengetahuan siswa dari sedikit demi sedikit dari konteks yang terbatas menuju kekonteks yang komplek.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan dan hasil analisis data maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Segala aspek penilaian siswa apek afektif, kognitif dan psikomotor akan menunjukkan hasil yang lebih baik atau telah mengalami peningkatan melalui pendekatan kontekstual.
2. Implementasi lembar kegiatan siswa yang kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar pada siswa MTs.
3. Konsep pembelajaran kontekstual sangat penting dalam pembelajaran IPA, hal ini sangat bermanfaat bagi guru dan siswa untuk mewujudkan pembelajaran yang realistik.
B. Saran
Berdasarkan hasil refleksi secara umum terhadap implementasi pembelajaran kontektual yang dapat mengoptimalkan hasil pembelajaran IPA yang akan bermuara pada peningkatan konsep diri dan kompetensi dasar siswa maka perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Perangkat pendukung pembelajaran yaitu lembar kegiatan siswa hendaknya dikaitkan dengan dunia nyata siswa sehingga siswa lebih mudah menerapkan dan mengkaitkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Diharapkan kepada guru MTs untuk mencoba menerapkan sistem pembelajaran IPA kontekstual pada pembelajarannya khususnya pada materi gaya dan usaha karena dapat menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dan tertib.
3. Kepada para pembaca yang berminat untuk mengadakan penelitian lebih lanjut diharapkan mencoba memodifikasi penelitian ini sehingga dapat memperoleh konsep diri dan kompetensi siswa yang lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,suharsini.1998. Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta:Bina Aksara.
Adyani,Ni Wayan,2003. Dampak implementasi metode guided discivery-inquiry dalam pembelajaran IPA (fisika ) terhadap konsep diri,sikap ilmiah dan hasil belajar siswa kelas III SLTPN 1 Singaraja tahun ajaran 2002/2003. Skripsi ( Tidak diterbitkan ).Jurusan Penddidikan MIPA IKIP Negeri Singaraja.
Depdiknas Balitbang.2002.Kurikulum Dan Hasil Belajar. Rumpun Pelajar Sains kurikulum berbasis kompetensi.pusat kurikulum,Jakarta pusat.
Dahar,R.W.1986. Interaksi belajar mengajar IPA. Buku materi pokok.Depdikbud.Universitas terbuka.
Dahar,1986. Teori-teori belajar.Jakarta.Erlangga.
Suastra,I Wayan.2002. Strategi belajar mengajar.Buku ajar.F MIPA IKIP Negeri Singaraja.
Suparno,P.1996.Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan.Yogyakarta:Kanisisus.
Syah,Muhibbin.1996.Psikologi pendidikan suatu pendekatan baru. Cetakan ketiga.Bandung:Remaja Rosdakarya

Posting Komentar

0 Komentar