A. Latar Belakang Malasah
Dahlan (Burhanuddin TR, 2007: 99) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat disengaja dan disadari dalam memperoleh suatu isu. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang disebabkan individu mengadakan respon terhadap lingkungan. Orang yang sudah belajar akan nampak perubahan tingkah lakunya.
Dalam pembelajarn IPS di SD, guru sering dihadapkan pada permasalahan rendahnya mutu hasil belajar siswa. Fenomena ini dapat dilihat dari hasil tes formatif maupun tes sumatif, nilai IPS selalu ada di bawah nilai-nilai mata pelajaran lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, selain faktor yang datang dari siswa sendiri, guru juga merupakan faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar, sebagaimana pendapat Sujana (1989:1) Bahwa dari berbagai variabel dalam strategi pelaksanaan pendidikan di sekolah, variabel guru merupakan variabel yang paling menentukan .
Dalam pembelajaran IPS, guru masih kurang memperhatikan fotensi yang dimiliki dan dialami sisiwa, terlebih dalam pembelajaran sejarah, guru lebih banyak bercerita atau berceramah di depan kelas. Padahal pada umumnya siswa usia SD memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Akhirnya metoda yang diterapkan dalam pembelajaran IPS hanya satu macam saja, yaitu metoda ceramah. Kebanyakan Guru memandang metode ini sangat efektif dalam pembelajaran IPS, terlebih guru berpandangan bahwa isi pelajaran IPS hanya bersifat informatif. Pembelajaran IPS bukan hanya sekedar menyampaikan informasi, tapi lebih jauh lagi harus mentransfer nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Akibat kurang bervariasinya pemilihan metode, siswa hanya bergantung pada apa yang disampaikan guru dan siswa cenderung fasif karena hanya bertindak sebagai pendengar setia dan pemerhati apa yang diterangkan oleh guru. Hasilnya siswa tidak tahu dan kurang mengerti dengan apa yang disampaikan guru. Hanya siswa yang memiliki daya tangkap dan daya ingat yang kuat yang mampu mengikuti pembelajaran dengan hasil maksimal. Berbeda situasinya jika dalam proses pembelajaran diterapkan suatu metode yang dapat melibatkan emosi dan fisik siswa, yang menuntut siswa tertantang untuk ikut terlibat di dalamnya, sehingga diharapkan siswa lebih mudah dalam mengenal, mengingat, dan menerapkan pesan yang terkandung dalam materi pembelajaran yang baru diterimanya.
Peran guru dalam mengajarkan IPS mempunyai hubungan yang erat dengan cara mengaktifkan siswa dalam belajar. Keaktifan belajar siswa dapat dilihat dari proses pengembangan keterampilan proses. Pengembangan keterampilan IPS dalam proses belajar meliputi keterampilan berpikir intelektual, sebagaimana dikemukakan oleh Al Muchtar (2007:853) “Kemampuan berfikir dan penghayatan nilai-nilai kemampuan dasar untuk mengembangkan dalam proses belajar yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu dan keterpaduan pembelajaran IPS”. Untuk itu perlu diupayakan penerapan sebuah metode yang mampu membuat siswa terlibat di dalamnya secara utuh, metode pembelajaran merupakan salah satu alat untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan dan merupakan salah satu komponen yang harus dikuasai oleh guru karena dengan menguasai metode pembelajaran guru dapat mengkomunikasikan bahan pelajaran dengan baik dan menciptakan proses pembelajaran yang efektif. Salah satu metode yang dianggap cocok untuk memenuhi kebutuhan siswa dalam belajar aktif yaitu dengan menerapkan metode tanya jawab, menurut Dimyati dan Moejiono (1992:41) bahwa metode tanya jawab dapat (1) membangkitkan keinginan siswa terhadap isi permasalahan yang sedang dibicarakan, (2) membangkitkan, mendorong, dan atau membimbing pemikiran yang sistematis, kreatif, dan kritis pada siswa, (3) meningkatkan keterlibatan mental siswa dengan menjawab pertanyaan dalam proses belajar mengajar sehingga dapat terwujud cara belajar siswa aktif, (4) memberikan kesempatan pada siswa untuk mengekspresikan diri sehingga dapat memupuk dan mengembangkan kemampuan untuk menyatakan pendapat dengan tepat, (5) memberikan kesempatan pada siswa menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk belajar sesuatu yang baru.
Berdasarkan pendapat di atas, dalam metode tanya jawab tidak hanya guru saja yang berbicara dan menjelaskan materi pelajaran, melainkan dapat terjadinya interaksi antara guru dan siswa atau siswa dengan siswa, pada proses pembelajaran siswa memiliki porsi yang lebih besar untuk aktif di dalamnya.
Berangkat dari kajian di atas, perlu untuk lebih meningkatkan minat belajar siswa melalui metode yang tepat, efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan dalam pembelajaran IPS. Oleh karena disusun makalah dengan judul “Implementasi (Contextual Teaching Learning) CTL dalam pembelajaran IPS di SD”.
B. Permasalahan
Permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Hakikat pembelajaran IPS di sekolah dasar.
2) Hakikat CTL dalam pembelajaran IPS di SD.
3) Penerapan CTL pembelajaran IPS di sekolah dasar ?
C. Prosedur Pemecahan Masalah
Untuk mengatasi permasalahan yang timbul digunakan prosedur pemecahan masalah dengan studi literatur berupa menelaah dan mengkaji berdasarkan literatur dan referensi yang berupa buku, karya ilmiah, dan hasil penelitian dengan tujuan:
1. Ingin mengetahui hakikat pembelajaran IPS SD.
2. Ingin mengetahui hakikat CTL dalam Pembelajaran IPS di SD
3. Ingin mengetahui penerapan CTL dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar.
D. Sistematika Penulisan
Dalam makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan;
A. Latar belakang masalah,
B. Permasalahan,
C. Prosedur pemecahan masalah, dan
D. Sistematika uraian.
Bab II Penerapan metode Tanya jawab dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
A. Hakikat Pembelajaran IPS di SD
B. Hakikat CTL dalam Pembelajaran IPS di SD
C. Penerapan CTL dalam Pembelajaran IPS di SD
Bab III Kesimpulan
|
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pendidikan IPS di SD
1. Pengertian Pendidikan IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang diberikan pada program pengajaran mulai dari tingkat sekolah dasar, sampai ke perguruan tinggi.
Definisi pendidikan IPS yang diberikan oleh para ahli berbeda-beda dan masih ada perdebatan, namun demikian pada umumnya para ahli sepakat bahwa pendidikan IPS merupakan program pendidikan atau sebuah mata pelajaran yang diberikan di tingkat persekolahan, materi dalam IPS mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat serta hubungan atau interaksi dengan lingkungannya secara fisik dan sosial. Beberapa pendapat para ahli tentang pengertian IPS diantaranya adalah dikemukakan oleh:
Ischak (1998: 1.25) menyatakan bahwa: “Istilah Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara resmi mulai dipergunakan di Indonesia mulai dipergunakan sejak tahun 1975 adalah istilah Indonesia, untuk pengertian “social studies” seperti di Amerika Serikat. Oleh karena itu sifat IPS sama dengan studi sosial yaitu praktis, interdisipliner dan mulai diajarkan mulai dari pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi”.
Ilmu pengetahuan sosial adalah penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, ideologi negara dan disiplin ilmu lainnya serta masalah-masalah sosial terkait yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan pada tingkat dasar dan menengah. (Winataputra, 2003: 1.32). Sejalan dengan pendapat tadi, Nasution (Sumaatmadja, 2002: 12.3) mengemukakan “Ilmu Pengetahuan Sosial adalah suatu program pendidikan yang merupakan suatu keseluruhan yang pada pokoknya mempersoalkan manusia dan lingkungan alam fisik maupun lingkungan sosialnya yang bahannya diambil dari berbagai ilmu sosial seperti geografi, sejarah, ekonomi, antropologi, sosiologi, ilmu politik dan psikologi sosial”.
Dari beberapa pendapat di atas Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan program pengajaran yang materinya berkenaan dengan kehidupan di dalam masyarakat. Yaitu hubungan manusia dengan manusia, hubungan sosial dan bagaimana usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Sehubungan dengan batasan pengertian di atas, Ilmu Pengetahuan Sosial adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupannya. Mempelajari kehidupan sosial dengan berbagai aspeknya dalam masyarakat, tentunya tak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu sosial yang membahas dari berbagai sudut pandangnya seperti sejarah, geografi, psikologi, ekonomi, politik dan sebagainya. Ischak (1998: 1.30) menjelaskan “Eratnya hubungan sosial dan IPS, satu sama lainnya saling melengkapi. Hasil penelaahan IPS dapat dimanfaatkan oleh ilmu sosial, dan sebaliknya hasil kajian ilmu sosial dapat dimanfaatkan oleh IPS”.
Denga banyaknya ilmu-ilmu sosial yang tercakup dalam pendidikan IPS tidak berarti bahwa pendidikan IPS adalah gabungan dari ilmu-ilmu sosial. IPS suatu pembelajaran tentang hubungan manusia dengan alam lingkungannnya yang lain, serta menolong siswa mengembangkan kompetensi dari sikap menjadi warga negara yang baik dalam masyarakat yang demokratis dengan menggunakan bahan dari berbagai ilmu sosial untuk memahami masalah-masalah soosial.
2. Fungsi Pendidikan IPS di SD
Sumaatmaja (2000: 1.10) IPS berfungsi mengembangkan keterampilan, terutama keterampilan sosial dan keterampilan intelektual. Keterampilan sosial yaitu melakukan sesuatu hubungan dengan kepentingan hidup bermasyarakat, seperti bekerja sama, bergotong royong, menolong orang lain yang memerlukan dan melakukan tindakan secara cepat dalam memecahkan persoalan sosial dalam masyarakat. sedangkan keterampilan intelektual, yaitu keterampilan berfikir, kecekatan dan kecepatan memanfaatkan fikiran, cepat tanggap dalam menghadapi permasalahan sosial di masyarakat.
IPS sebagai pendidikan berfungsi mengembangkan perhatian dan kepedulian sosial siswa terhadap kehidupan di masyarakat dan bermasyarakat.
Berdasarkan kajian di atas dapat dikemukakan bahwa fungsi IPS sebagai pendidikan, yaitu membekali siswa dengan pengetahuan sosial yang berguna, keterampilan sosial dan intelektual, dalam membina perhatian serta kepedulian sosialnya sebagai penerus bangsa yang bertanggungjawab merealisasikan tujuan nasional.
3. Tujuan Pendidikan IPS di SD
Di dalam kurikulum 2006 dijelaskan tujuan pendidikan IPS di SD agar siswa sebagai peserta didik memilki kemampuan-kemampuan sebagai berikut:
a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
4. Ruang Lingkup Pendidikan IPS di SD
Ruang lingkup mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Manusia, Tempat, dan Lingkungan
b. Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan
c. Sistem Sosial dan Budaya
d. Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan.
Ruang lingkup pengajaran sejarah meliputi:
a. Kerajaan-kerajaan di Indonesia
b. Tokoh dan peristiwa
c. Indonesia pada zaman penjajahan
d. Beberapa peristiwa penting pada masa kemerdekaan. (Kurikulum 2006).
5. Pembelajaran Pendidikan IPS di SD
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD dimaksudkan untuk membina generasi penerus usia dini guna memahami potensi dan peran dirinya dalam berbagai tata kehidupannya, menghayati tuntutan keharusan dan pentingnya bermasyarakat dengan penuh kebersamaan, dan mahir berperan serta di lingkungannya sebagai insan sosial dan warga negara yang baik. Berdasarkan pada kajian di atas, seyogianya dalam kegiatan pembelajaran IPS siswa dapat diberikan materi dengan menggunakan media pembelajaran, agar materi yang diberikan lebih jelas dan dipahami ke dalam lingkungan alam dan masyarakat.
Dengan mempelajari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam masalah sosial/kemasyarakatan, siswa secara langsung dapat mengamati dan mempelajari norma-norma/peraturan serta kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku dalam masyarakat, sehingga siswa mendapat pengalaman langsung adanya hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara kehidupan pribadi dan masyarakat. Dengan demikian manfaat yang diperoleh setelah mempelajari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di samping mempersiapkan diri untuk terjun ke kehidupan masyarakat, juga membentuk dirinya sebagai anggota masyarakat yang baik dengan mentaati aturan yang berlaku dan turut pada pengembangan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Pembelajaran pada hakekatnya mempersiapkan peserta didik untuk dapat menampilkan tingkah laku hasil belajar dalam kondisi yang nyata, atau memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. dengan melakukan pembelajaran siswa membekali dirinya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kehidupannya.
Menurut Hamalik, dkk. (2002: 48) mengemukakan “Pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.
Berdasarkan kajian di atas dapat dimaknai bahwa pemebelajaran adalah kegiatan belajar siswa dalam prosesnya ada interaksi antara guru dan siswa, atau siswa dengan siswa untuk mencapai hasil belajar yang sudah dirumuskan.
B. Pembelajaran kontekstual
1. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru dalam mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Melalui pembelajaran kontekstal diharapkan konsep-konsep materi pelajaran dapat diintegrasikan dalam konteks kehidupan nyata dengan harapan siswa dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan baik dan mudah.
Pendekatan kontekstual mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang, dan itu dapat terjadi melalui pencairan hubungan yang masuk akal dan bermanfaat. Pemandu materi pelajaran dengan konteks keseharian siswa didalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam dimana siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikanya. Siswa mampu secara independen menggunakan pengetahuanya untuk menyelesaikan masalah- masalah baru dan belum pernah di hadapi, serta memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap belajarnya seiring dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuan mereka.
Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan didalam dan diluar ruang kelas, pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengkaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dalam konteks dimana materi tersebut digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana seseorang belajar atau cara siswa belajar. Konteks memberikan arti, relevansi dan manfaat penuh terhadap belajar.
Materi pelajaran akan tambah berarti jika siswa mempelajari materi pelajaran yang disajikan melalui konteks kehidupan mereka, dan menemukan arti dalam proses pembelajarannya. Sehingga pembelajaran akan lebih berarti dan menyenangkan. Siswa akan bekerja keras untuk mencapai tujuan pembelajaran, menggunakan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya untuk membangun pengetahuan baru. Selanjutnya siswa memanfaatkan kembali pengetahuan dan kemampuannya itu dalam berbagai konteks di luar sekolah untuk penyelesaian permasalahan dunia nyata yang kompleks. Baik secara mandiri maupun dengan berbagai kombinasi dan struktur kelompok.
Jadi jelaslah bahwa pemanfaatan pembelajaran kontekstual akan menciptakan ruang kelas yang didalamnya siswa akan aktif bukan hanya pengamat yang pasif, dan tanggung jawab terhadap belajarnya. Penerapan pembelajaran kontekstual akan sangat membantu guru dalam menghubungkan materi mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa untuk membentuk hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dengan kehidupan mereka sebagai keluarga, warga negara dan pekerja.
2. Tujuan Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat di terapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks kekonteks lainnya. Lee (1999) mendifinisikan transfer kemampuan untuk berpikir dan berargumentasi tentang situasi baru dengan penggunaaan pengetahuan awal. Ia dapat berkonotasi positif jika belajar atau pemecahan masalah ditingkatkan melalui penggunaan pengetahuan awal, dan berkonotasi negatif jika pengetahuan awal secara nyata menggaanggu proses belajar. Transfer dapat juga terjadi didalam suatu konteks melalui pemberian tugas yang terkait erat dengan materi pelajaran, atau antar dua atau lebih konteks dimana pengetahuan diperlukan dalam suatu situasi tertentu, dan kemudian digunakan didalam konteks yang lainnya.
3. Pendekatan Pengajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa didalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan, awal siswa dengan materi yang sedang dipelajarinya dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peran guru. Sehubungan dengan itu maka pendekatan pengajaran kontekstual haruslah menekankan pada hal-hal sebagai berikut :
1. Belajar berbasis Masalah ( Problem – Based Learning ), yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan ketrampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesa, dan mempresentasikan penemuannya, kepada orang lain (Moffit, 2001 ).
2. Pengajaran Autentik (Authentic Instruction) yaitu pendekatan pembelajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna, Ia mengembangkan ketrampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting didalam konteks kehidupan nyata.
3. Belajar Berbasis Inquiri (Inquiry – Based – Learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
4. Belajar Berbasis Proyek / Tugas Terstruktur (Project - Based Learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dan mengkonstruk (membentuk) pembelajarannya dan mengkulminasikannya dalam produk nyata (Buck Institute for Education, 2001)
5. Belajar Berbasis Kerja (Work – Based Learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali didalam tempat kerja. Jadi dalam hal ini tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa (Smith, 2001).
6. Belajar Jasa Layanan (Service Learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut, jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis. Dengan kata lain pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai ketrampilan untuk memenuhi kebutuhan didalam masyarakat melalui proyek / tugas terstruktur dan kegiatan lainnya. (Mc Pherson, 2001)
7. Belajar Kooperatif (Cooperative Learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar (Holubec, 2001)
Berkaitan dengan faktor kebutuhan individual siswa maka untuk menggunakan metode pendekatan kontekstual guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (Developmentally approriate) siswa. Hubungan antara isi kurikulum dan metodologi yang digunakan untuk mengajar siswa harus didasarkan kepada kondisi sosial emosional dan perkembangan intelektual siswa. Jadi karakteristik siswa dan individual lainnya serta kondisi sosial dan lingkungan budaya siswa haruslah menjadi perhatian didalam merencanakan pembelajaran. Contohnya apa yang telah dipelajari dan dilakukan oleh siswa SLTP tentunya akan berbeda dengan apa yang dipelajari dan dikerjakan oleh siswa SMU ( Kilmer, 2001 )
2. Membentuk grup belajar yang saling tergantung (interdependent learning groups). Siswa saling belajar dari sesamanya didalam kelompok-kelompok kecil dan belajar bekerjasama dalam tim lebih besar (kelas) merupakan bentuk kerjasama yang diperlukan oleh orang dewasa ditempat kerja dan konteks lain. Jadi dalam hal ini siswa diharapkan untuk berperan aktif.
3. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (Self Regulated Learning) yang memiliki 3 karakteristik umum, yaitu kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan. Berdasarkan penelitian bahwa siswa usia 15 – 16 tahun secara bertahap mengalami perkembangan kesadaran terhadap : (i) Keadaan pengetahuan yang dimilikinya, (ii) Karakteristik tugas-tugas yang mempengaruhi pembelajarannya secara individual, dan (iii) strategi belajarnya (Brown, Bransford, Ferrara & Campione, 1993; Flavell, 1978 dalam Paris & Wibigrad, 1998).
4. Mempertimbangkan keragaman siswa (diversity of students). Dikelas guru harus mengajar siswa dengan berbagai keragamannya, misalnya latar belakang suku bangsa, status sosial-ekonomi, bahasa utama yang dipakai rumah dan berbagai kekurangan yang mungkin mereka miliki. Dengan diharapkan guru dapat mebantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
5. Memperhatikan multi intelegensi (Multiple Intellegences) siswa. Dalam menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual, maka cara siswa berpartisipasi didalam kelas harus memperhatikan kebutuhan dan delapan orientasi pembelajaran. (spasial - verbal, linguistik – verbal, interpersonal, musikal – ritmik, naturalis, badan-kinestetika, intrapersonal, dan logismatematis; Gardner 1993 ). Oleh karenanya dalam melayani siswa dikelas, guru harus memadukan berbagai strategi pendekatan pembelajaran kontekstual sehingga pengajaran akan efektif bagi siswa dengan berbagai intelegensinya itu ( Brockman dan Brockman, 2001 )
6. Menggunakan teknik-teknik bertanya yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan ketrampilan berpikir tingkat tinggi. Agar pembelajaran kontekstual mencapai tujuannya, maka jenis dan tingkat pertanyaan yang tepat harus diungkapkan / ditanyakan. Pertanyaan harus secara hati-hati direncanakan untuk menghasilkan tingkat berpikir, tanggapan danm tindakan yang diperlukan siswa dan seluruh peserta didalam proses pembelajaran kontekstual (Frazee, 2001)
7. Menerapkan penilaian autentik (Authentic Assesment). Penilaian autentik mengevaluasi penerapan pengetahuan dan berpikir kompleks seorang siswa, daripada hanya sekedar hafalan informasi faktual. Kondisi alamiah pembelajaran kontekstual memerlukan penilaian interdisiplin yang dalam mengukur pengetahuan dan ketrampilan lebih dalam dan dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan penilaian satu disiplin (Ananda, 2001)
Berkaitan dengan faktor peran guru, agar proses pengajaran kontekstual dapat lebih efektif kaitannya dengan pembelajaran siswa, guru diharuskan merencanakan, mengimplementasikan, merefleksikan dan menyempurnakan pembelajaran. Untuk keperluan itu, guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut :
1. Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa.
2. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
3. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengkaitkannya dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam proses pembelajaran kontekstual.
4. Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka.
5. Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengkaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan / pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengkaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya siswa didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa terhadap konsep / teori yang sedang dipelajarinya.
6. Melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil penilaian tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut diatas, maka didalam pembelajaran kontekstual diperlukan strategi pengajaran sebagai berikut :
1. Menekankan pada pemecahan masalah. Pengajaran kontekstual dapat dimulai dengan suatu simulasi atau masalah nyata. Dalam hal ini siswa menggunakan ketrampilan berpikir kritis dan pendekatan sistimatik untuk menemukan dan mengungkapkan masalah atau isu-isu, dan mungkin juga menggunakan berbagai isi materi pembelajaran untuk menyelesaikan masalah. Masalah yang dumaksudkan adalah relevan dengan keluarga siswa, pengalaman, sekolah, tempat tinggal, dan masyarakat, yang memiliki arti penting bagi siswa.
2. Mengakui kebutuhan pembelajaran terjadi diberbagai konteks, misalnya rumah, masyarakat dan tempat kerja. Pembelajaran kontekstual menyarankan bahwa pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari fisik dan konteks sosial dimana ia berkembang. Bagaimana dan dimana siswa memperoleh dan memunculkan pengetahuan selanjutnya menjadi sangat berarti, dan pengalaman belajarnya akan diperkaya jika ia mempelajari berbagai ketrampilan didalam konteks yang bervariasi (rumah, masyarakat, tempat kerja, keluarga)
3. Mengkontrol dan mengarahkan pembelajaran siswa. Sehingga mereka akan menjadi pembelajar yang mandiri (Self-Regulated Learners). Akhirnya, siswa harus menjadi pembelajar sepanjang hayat yang mampu mencari, menganalisa dan menggunakan informasi tanpa atau dengan sedikit bimbingan dan semakin menyadari bagaimana mereka memproses informasi, menggunakan strategi pemecahan masalah, serta memanfaatkannya. Untuk mencapai itu, melalui pengajaran kontekstual, siswa harus diperkenankan melakukan ujicoba (trial and error) menggunakan waktu dan struktur materi yang refleksi, dan memperoleh dukungan yang cukup serta bantuan untuk berubah dari pembelajar yang dependen menjadi pembelajar yang independen.
4. Bermuara pada keragaman konteks hidup yang dimiliki siswa. Secara menyeluruh ternyata populasi siswa sangatlah beragam, ditinjau dari perbedaan dalam nilai, adat istiadat, sosial, perspektif. Didalam proses pembelajaran kontekstual perbedaan tersebut dapat menjadi daya pendorong untuk belajar dan sekaligus menambah kompleksitas pembelajaran itu sendiri. Kerjasama tim dan aktivitas kelompok (group) belajar didalam proses pembelajaran kontekstual sangatlah menghargai keragaman siswa, memperluas perspektif, dan membangun keterampilan interpersonal, yaitu berpikir melalui berkomunikasi dengan orang lain (Gardner, 1993 ).
5. Mendorong siswa untuk belajar dari sesamanya dan bersama-sama atau menggunakan group belajar interdependen (Interdependent Learning Group). Siswa akan dipengaruhi dan sekaligus berkontribusi terhadap pengetahuan dan kepercayaan orang lain. Group belajar atau komunitas pembelaran akan terbentuk didalam tempat kerja dan sekolah kaitannya dengan suatu usaha untuk bersama-sama memakai pengetahuan, memusatkan pada tujuan pembelajaran dan memperkenankan semua orang untuk belajar dari sesamanya. Dalam hal ini, para pendidik harus bertindak sebagai fasilitator, pelatih, dan pembimbing akademis.
6. Menggunakan penilaian autentik (autentic assessment) pembelajaran kontekstual diharapkan membangun pengetahuan dan ketrampilan dengan cara yang bermakna melalui pengikutsertaan siswa ke dalam kehidupan nyata atau konteks autentik. Untuk proses pembelajaran yang demikian itu diperlukan suatu bentuk penilaian yang didasarkan kepada metodologi dan tujuan dari pembelajaran itu sendiri, yang disebut penilaian autentik. Penilaian aurentik menunjukkan bahwa pembelajaran telah terjadi; menyatu ke dalam proses belajar mengajar; dan memberikan kesempatan dan arahan kepada siswa untuk maju; dan sekaligus dipergunakan sebagai alat kontrol untuk melihat kemajuan siswa dan umpan balik bagi praktek pengajaran.
Sementara itu, Center for Occupation Ressearch and Development (CORD) menyampikan 5 strategi bagi pendidik dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat dengan REACT, yaitu :
1. Relating ; belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.
2. Experiencing: belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention)
3. Applying: belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan didalam konteks pemanfaatannya.
4. Cooperating: belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama, dsb.
5. Transferring: belajar melalui pemanfaatan pengetahuan didalam situasi atau konteks baru.
4. Penilaian Pembelajaran Kontekstual
Penerapan pembelajaran kontekstual memerlukan guru yang dapat memahami dan mampu menyajikan suatu lingkungan belajar yang dapat membangun dan memperluas pengalaman siswa sebelumnya dan responsif terhadap keragaman tipe pembelajaran siswa. Pembelajaran hendaknya kontekstual dengan berbagai aktivitas didalamnya, dapat meningkatkan apa yang siswa ketahui, apa yang dapat dilakukannya termasuk pengetahuan tentang bagaimana memecahkan dunia nyata. Untuk itu diperlukan guru yang memiliki kemampuan mendesain dan menerapkan strategi penilaian yang sesuai dengan isi materi, keragaman siswa, dan sekaligus dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan apa yang mereka ketahui termasuk bagaimana menggunakannya di dalam dan di luar sekolah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembelajaran kontekstual memelukan seorang guru yang mampu bergerak melampui bentuk penilaian tradisional/konservatif yang selama ini dipergunakan.
Tidak ada benar atau salah didalam strategi penilaian, persoalannya adalah bagimanan kita dapat memilih suatu cara penilaian yang dapat menentukan mengenai apa yang siswa ketahui dan apa yang dapat dilakukannya. Berbagai alat ukur atau strategi hanya dapat dikatakan baik dengan melihat sejauh mana keterkaitannya dengan tujuan dan dampak nyata (outcome) yang diharapkan dari suatu materi pelajaran. Tujuan dan dampak suatu pelajaran seharusnya telah ditentukan sedemikian rupa untuk mendorong ragam strategi penilaian yang akan mengukur prestasi siswa didalam suatu aktivitas pembelajaran. Penilaian yang dapat mengukur penerapan pengetahuan didalam berbagai konteks autentik seperti yang demikian itu, dikenal dengan istilah penilaian autentik (Authentic Assessment), penilaian autentik bertujuan untuk menyediakan informasi yang absah/benar dan akurat mengenai apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa, atau tentang kualitas program pendidikan. Penilaian sejauhmana pengetahuan dan ketrampilan dipelajari dengan baik berarti termasuk juga pemanfaatannya didalam suatu konteks kehidupan nyata yang bermakna.
Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu istilah/terminologi yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif. Berbagai metode tersebut memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan masalah, atau mengekspresikan pengetahuannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan sekolah (Hymes, 1991). Berbagai simulasi tersebut semestinya dapat mengekspresikan prestasi (performance) yang ditemui di dalam praktek dunia nyata seperti tempat kerja. Penilaian autentik seharusnya dapat menjelaskan bagaimana siswa menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki lebih dari satu solusi yang benar. Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria yang dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian sebagai berikut :
1. Penilaian kinerja (Performance assessment): penilaian kinerja dikembangkan untuk menguji kemampuan siswa dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan (apa yang mereka ketahui dan dapat dilakukan) pada berbagai sitasui nyata dan konteks tertentu. Penilaian kinerja ini dapat dipersingkat atau diperluas dalam bentuk pertanyaan terbuka (open-ended question) atau bentuk pilihan berganda (multiple choice). Dalam pengertian yang lebih luas, penilaian kinerja dapat berupa membaca, menulis, proyek, proses, pemecahan masalah, tugas analisis, atau bentuk tugas-tugas lain yang memungkinkan siswa untuk mendemontrasikan kemampuannya dalam memenuhi tujuan dan dampak tertentu.
2. Observasi sistematik (System Observation), yang bermanfat untuk menyajikan informasi tentang dampak aktivitas pembelajaran terhadap sikap siswa. Dalam hal ini, semua siswa diobservasi secara berkala dan sering. Hasil observasi dicatat dalam bentuk sikap khusus maupun tidak, dan selanjutnya dipergunakan oleh pengamat (Observer) untuk merefleksikan dan menginterpretasikan apakah petunjuk siswa sesuai dengan tujuan dan outcome pembelajaran. Kunci dari kebermanfaatan observasi adalah sistimatiknya. Suatu observasi dikatakan bermanfaat, jika data dicatat dan dievaluasi serta dipergunakan untuk meningkatkan prestasi (performa) siswa.
3. Portfolio (Portfolio) adalah koleksi/kumpulan dari berbagai ketrampilan, ide, minat dan keberhasilan atau prestasi siswa selama jangka waktu tertentu (Hart, 1994 ) yang memberikan gambaran perkembangan siswa setiap saat. Ia bukan harus selalu dalam bentuk catatan atau tulisan, karena siswa yang tidak memiliki keterbatasan kemampuan dalam menulis dapat juga menyampaikan pemahaman dan kinerjanya dengan menggunakan gambar, model fisik atau alat peraga. Awalnya portfolio dipergunakan untuk menunjukkan prestasi (performan) siswa di dalam berbagai bidang termasuk arsitektur, seni grafik, fotograpi dan penulisan, tetapi sekarang ini, ia juga telah dipergunakan untuk memperoleh contoh yang presentatif dari pekerjaan siswa dalam satu disiplin (mata pelajaran) selama jangka waktu tertentu. Seringkali siswa diberi kesempatan untuk menyeleksi pekerjaan yang mereka rasakan terbaik untuk mempresentasikan pengetahuan dan usaha mereka selama dalam tingkat/kelas tertentu misalnya nilai unjian yang terbaik, keberhasilannya dalam merancang suatu percobaan dsb. Portfolio sangat berguna bagi siswa dalam rangka mengembangkan keahliannya untuk menilai diri sendiri dan juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk memikirkan perkembangan dirinya. Oleh karena itu, portfolio seharusnya dikumpulkan secara terintegrasi dan bersifat reflektif, sehingga siswa mampu melihat gambaran yang luas mengenai bagaimana dia membangun pengetahuan dan keahlian/ketrampilannya serta menilai efektifitas kinerjanya.
4. Jurnal sains (Journal) merupakan suatu proses refleksi dimana siswa berpikir tentang proses belajar dan hasilnya, kemudian menuliskan ide-ide, minat dan pengalamannya. Dengan kata lain jurnal membantu siswa dalam mengorganisasikan cara berpikirnya dan menuangkannya secara eksplisit dalam bentuk gambar, tulisan dan bentuk lainnya.
Jurnal menyajikan suatu cara bagi siswa untuk merefleksikan atau mengkaitkan pemikirannya dengan pemikiran sebelumnya dan kemudian guru menguji refleksi tersebut untuk mengetahui atau mengumpulkan informasi mengenai sejauhmana pemahaman berpikir siswa. Jurnal sangat tepat untuk mendokumentasikan perubahan persepsi siswa terhadap diri mereka sendiri dan kemampuannya.
0 Komentar