Seperti kita ketahui bersama, bahwa problem dan tantangan pendidikan nasional dalam memasuki globalisasi harus dihadapi dengan pendekatan dan metode yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan tuntutan perubahan di masa depan. Fenomena yang terjadi pada dunia pendidikan di era global ini adalah selalu tertinggal jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi dan dunia bisnis. ’’Sebab dunia pendidikan tidak selalu dapat mengembangkan dirinya atas dasar rugi-laba dan prinsip efisiensi semata. Pendidikan juga mengemban visi kemanusiaan.’’ (Suyanto, 2008:2). Di era otonomi pendidikan, masih banyak pihak terutama sekolah dan pemerintah daerah, belum memahami apa yang seharusnya dilakukan. Padahal menurut UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak hal yang seharusnya menjadi tugas daerah dalam mengelola pendidikan dasar dan menengah. Yakni berkaitan dengan manajemen, anggaran, kurikulum, pengawasan, evaluasi, pembinaan karier guru, pengendalian kualitas, dan pendirian sekolah.
Ada baiknya para petinggi berkaca pada negara-negara yang telah menerapkan otonomi pendidikan. Setidaknya ada 8 (delapan) tujuan yang saling berkaitan yang mampu mendorong pembaruan. Yakni: (1) akselerasi pembangunan ekonomi melalui modernisasi institusi, (2) peningkatan efisiensi manajemen, (3) realokasi tanggung jawab keuangan, (4) penumbuhkembangan demokrasi, (5) peningkatan pengawasan oleh daerah melalui deregulasi, (6) pengenalan sistem pendidikan berdasarkan kekuatan pasar, (7) netralisasi kompetensi antarpusat kekuatan yang berpengaruh pada pendidikan, dan (8) peningkatan kualitas pendidikan. Sejumlah pilihan bentuk pengelolaan otonomi pendidikan. Misal manajemen berbasis sekolah dan adanya jembatan antara dunia akademis dan profesional. Konsep link and match dunia pendidikan dan dunia kerja selama ini belum optimal karena adanya sejumlah kendala. Yakni belum bisa melakukan standarisasi outcome perguruan tinggi, sulitnya memprediksi jenis pekerjaan yang akan hilang dan muncul dalam kurun waktu lima tahunan, adanya perbedaan misi dan visi antara perguruan tinggi dan pasar kerja.
Hal tersebut diperlukan transformasi nilai-nilai agama dan pendidikan. Pengembangan pendidikan yang berorientasi pada penegakkan moralitas dapat dilakukan dengan mengembangkan tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Juga hendaknya pendidikan nasional ke depan lebih mengembangkan kecerdasan multidimensional. Paradigma baru mengenai kecerdasan perlu dikembangkan. Yakni menyangkut kecerdasan visual, verbal, logika, kinestetika, musikal, interpersonal dan intrapersonal.
Dinamika Pendidikan
Pendidikan masih dipercaya sebagai proses yang mampu memompa tenaga produktif bangsa kita. Tenaga produktif (productive/pra’daktiv force/fo:s) adalah suatu kemampuan masyarakat untuk menghasilkan suatu bentuk tindakan dan produk-produk baik yang bersifat ekonomis-teknologis maupun intelektualitas. Umumnya tenaga produktif masyarakat lebih banyak dikenal sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketika masyarakat semakin mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka di dalamnya banyak individu yang mendapat kemudahan hidup, kesejahteraan, dan kemudahan untuk mengekspresikan kemanusiaannya. Dalam menghadapi perkembangan sosial tersebut, UNESCO berusaha mengakomodasi tuntutan sosial pendidikan dengan menegaskan pilar-pilar yang direkomendasikan dalam dunia pendidikan, yaitu: learning/leuning to learn, learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together. Di Indonesia, pilar-pilar tersebut belum dapat ditegaskan, bahkan dari sudut pandang wacana saja masih belum terdengar. Padahal prinsip pendidikan tersebut sangat komprehensif dan jika dapat diterapkan dengan benar dan konsisten akan mampu menjadikan anak didik menjadi insan yang selain menguasai informasi dan ilmu pengetahuan juga memiliki tanggung jawab moralitas bangsa Indonesia. Murid memang bukan hanya harus memiliki pengetahuan, melainkan juga mampu menerapkannya dalam masyarakat. Selain itu, mereka juga harus mampu melihat realitas terdalam. Dengan demikian, mereka juga harus mampu terlibat langsung dalam masyarakat.
Sebagaimana terjadi setiap tahun, menjelang pergantian tahun ajaran baru, isu pendidikan mahal kembali mencuat. Tentu saja pendidikan mahal bukanlah suatu hal yang diinginkan oleh kebanyakan orang, terutama kalangan masyarakat bawah. Bagi kalangan menengah ke atas, pendidikan mahal barangkali bukanlah masalah, bahkan dianggap sebagai kewajaran karena mungkin itu tuntutan globalisasi. ’’Mana mungkin bisa berkualitas kalau tidak mahal”, begitu kata mereka. Pada kenyataannya, anak-anak konglomerat, memang jarang yang sekolah di dalam negeri, yang dianggapnya ’’murahan’’, tetapi lebih senang sekolah di luar negeri, atau sekolah dalam negeri yang tergolong elite dan berfasilitas enak dan nyaman. Bagi kalangan ekonomi atas, anak para konglomerat dan pejabat, pendidikan tentu saja bukan hanya untuk meningkatkan status ekonomi (mobilitas vertikal), melainkan lebih bermakna sebagai prestise ataupun penegasan gaya hidup, memperluas pengetahuan budaya untuk bisa sepadan dengan budaya Barat yang dianggap sebagai patokan budaya dan peradaban. Persepsi budaya seperti ini bisa kita lihat di kalangan artis-selebritis, sebuah representasi kaum kelas atas, kalangan yang hidupnya diabdikan untuk merayakan ’’gaya hidup’’ (life skill) sebagai cerminan kesadaran kelas ekonomi yang mendominasi. Berbeda dengan mayoritas orang miskin yang dalam kesehariannnya harus menghadapi masa sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup. Bagi kalangan ekonomi bawah ini, pendidikan bermakna bukan sekadar prestise sosial, melainkan lebih banyak sebagai alat mobilisasi sosial ke atas, yaitu meningkatkan kecakapan agar menghasilkan pendapatan ekonomi yang lebih baik. Pendidikan adalah untuk mengondisikan tenaga berpengetahuan dan berketerampilan sebagai modal untuk dijual ke bursa kerja sehingga akan mendapat penghasilan lebih dibanding orang yang tidak berpendidikan dan yang hanya mengandalkan tenaga fisik, seperti buruh, tani, dan lain-lain.
Sebagaimana dilaporkan Human/c’hju:man Development/di’velapment Index/indeks (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia tahun 2003 lalu, Indonesia berada dalam urutan ke-112 (0,682) dari 175 negara. Posisi ini jauh di bawah Singapura yang ada di posisi ke-28 (0,888); Brunei Darussalam ke-31 (0,872); Malaysia ke-58 (0,790); Thailand ke-74 (0,768); dan Philipina ke-85 (0,751). Betapa mengenaskan! Dalam kaitan ini, mutu pendidikan juga berkaitan dengan pemerataan akses serta lemahnya alokasi anggaran. Kedua hal itulah yang membuat pendidikan menjadi mahal, hingga otak harus dipindah ke dengkul, bukan di kepala.
Pendidiikan selalu dipercaya untuk membentuk masyarakat agar dapat menjadi pribadi yang dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Tapi, idealitas ini tampaknya akan sangat jauh bila kita melihat apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cita-cita untuk menciptakan manusia yang lebih baik seakan-akan hanyalah ilusi. Bahkan, kita gagap menghadapi perubahan yang cepat. Dan pendidikan tidak bisa menjawab sama sekali kecenderungan itu. Kebijaksanaan pemerintah dalam pendidikan justru membatasi akses rakyat untuk mendapatkannya. Kebijakan privatisasi pendidikan telah mendiskriminasikan rakyat dalam memperoleh pendidikan, hanyalah golongan masyarakat yang berduit saja yang dapat bersekolah dan memperoleh pendidikan. Jelas asumsi yang dipakai adalah filsafat ketidakadilan. Dana konpensasi kenaikan harga BBM untuk pendidikan dan kesehatan tidak akan cukup efektif untuk mengurangi dampak privatisasi pendidikan yang telah dilakukan jauh-jauh hari dan tidak juga akan mampu membayar pemiskinan rakyat akibat kenaikan harga BBM lalu yang diikuti dengan harga-harga lainnya, juga kebijakan yang lain. Dalam kondisi worst-educated seperti itulah, tenaga produktif rakyat sebagai energi diharapkan dapat membangun kemajuan bangsa.
Sebenarnya, pesimisme terhadap pendidikan atau sekolah yang tidak mampu mengubah keadaan hidup sudah lama dilontarkan, termasuk oleh pakar pendidikan sendiri. Bahkan sekolah dianggap hanya membuat generasi muda terbelenggu dan membodohi masyarakat. Mereka yang apatis itu bukan cuma orang biasa, melainkan juga para filsuf dan tokoh sejarah. Everett Reimer menyatakan bahwa ’’school/sku:l is dead’/ded’, dan Ivan Illich menggagas ’’deschooling/diskuling society’’/sa’saiati’. Sejumlah penggagas lain juga melontarkan pesimisme mereka pada lembaga sekolah. Buku-buku top atau best seller seperrti dari Robert T Kiyosaki (2000) banwa: ’’If you want to be rich/ritj and happy/hepi, don’t go/gou to school’’ (bila anda ingin kaya dan bahagia jangan sekolah), dan ‘’Rich dad, poor/pua dad juga menyuarakan pesimisme terhadap sekolah formal yang saat ini sulit dijangkau oleh rakyat. Di Indonesia, Andrias Marefa (2002) menulis, ‘’Sekolah saja tidak pernah cukup’’, dan ‘’Sukses tanpa gelar’’. Darmaningtyas menulis tentang ’’Pendidikan yang memiskinkan’’, ’’Pendidikan rusak-rusakan’’; Edy Zageus menulis ’’Kalau mau kaya, ngapain sekolah’’, dan sebagainya.
Masalahnya, dimana pun pendidikan tidak pernah berdiri sendiri tanpa terkait secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial tempat pendidikan diselenggarakan. Meskipun demikian, pendidikan selalu dipercaya untuk membentuk masyarakat agar dapat menjadi pribadi yang dapat berpartisipasi secara produktif dan kreatif dalam pembangunan. Strategi pendidikan harus dipilih agar tercipta sistem dan metode pendidikan yang mampu menjawab persoalan, dan bukannya hanya menjadi pendukung sistem ekonomi – politik yang kini semakin tidak berpihak pada rakyat dan menjauhkan individu di dalamnya dari kemanusiaan.
Saat ini, ketika sistem yang ada masih ’’rusak-rusakan’’, animo orang tua untuk menyekolahkan anak masih sangat besar. Hal tersebut terjadi karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia adalah kebutuhan. Namun begitu, sebagian orang tua tersiksa dengan fakta mahalnya biaya masuk yang ada. Bahkan sebagian lagi juga terpaksa menekan keinginan untuk menyekolahkan anaknya. Alasan yang mereka gunakan, selain merasa mustahil untuk dapat membiayai anaknya, karena anggapan bahwa semakin banyak orang bersekolah ternyata juga tidak dapat mengubah keadaan. Watak dan tindakan elite politik dan pemerintah yang tetap saja menyengsarakan rakyat menambah keyakinan rakyat bahwa banyaknya orang-orang pintar dan sekolah tinggi ternyata juga tak kunjung memunculkan kondisi bangsa yang baik, justru malah merusak dan menambah penderitaan rakyat.
Tampaknya kearifan dan pengetahuan tidak perlu didapat dari sekolah. Pada kenyataannya, sekolah hanya menonjolkan gedung-gedung mewah tetapi dikomersialkan. Model pendidikan yang ada juga mengasingkan komunitas sekolah dari realitas masyarakat. Bukanlah, dengan demikian, untuk pintar dan menjadi manusia yang berilmu dan mampu menghadapi masa depan tidak perlu masuk sekolah. Seorang antropolog dari Norwegia, Oyind Sandbukt, yang pernah mengadakan penelitian di kalangan Suku Kubu di Jambi mengungkapkan tentang sosialisasi, transmisi pengetahuan tentang kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ditunjukkan oleh sang antropolog bahwa suku yang dianggap primitif atau terasing ternyata memiliki pengetahuan yang mengagumkan tentang lingkungan hidupnya di hutan tropis. Dalam hal ini, pengetahuan yang sudah menjadi satu paket untuk siap hidup di hutan belantara, tentunya diperoleh melalui proses belajar yang panjang dan dikukuhkan dalam ’’kurikulum’’. Ketika sebagian orang Kubu ini ’dimukimkan kembali’ seperti pada umumnya, maka tiba-tiba mereka tercerabut dari akar kehidupan yang paling dalam. Anak-anak perdesaan, pedalaman, nelayan, sebagian di kota, adalah anak-anak pinggiran yang luput dari perhatian kurikulum. Mereka terbiasa belajar sambil bekerja.
Pandangan ekstrem bahwa kita tidak butuh sekolah tentunya tidak dapat dilihat sebagai pesimisme, tetapi harus dipandang sebagai kritik pada dunia pendidikan kita. Realitas sosial harus masuk dalam dunia pendidikan. Artinya, semua orang harus dapat bersekolah dan semua orang harus dapat mengeskpresikan kepentingannya dalam dunia pendidikan. Pendidikan harus menjadi milik masyarakat, tanpa batas-batas kelas, ras, agama, maupun bentuk fisik (cacat atau tidak). Intinya, memperbaiki pendidikan dimulai dengan membuka komunitas pendidikan bagi realitas sejati masyarakat agar pendidikan mampu melihat apa yang terjadi, lalu memberi jawaban bagi permasalahan yang ada. Mengintegrasikan realitas sosial ke dalam praktik pendidikan akan membuat keluaran pendidikan tidak sekedar menghafal dan tahu banyak informasi pengetahuan, tetapi juga akan sanggup memberikan nilai praktis atas informasi yang diperolehnya. Ini sesuai dengan ungkapan Paulo Freire (1972) yang menegaskan bahwa mengajar bukan sekadar memindahkan pengetahuan dengan hafalan. Mengajar tidak bisa direduksi menjadi mengajar siswa saja, tetapi mengajar baru menjadi berfungsi bila siswa belajar untuk belajar (learn to learn). Artinya, siswa sanggup untuk belajar alasan (why) dari objek dan isi yang dipelajari. Siswa belajar untuk kreatif dan mandiri. Mereka harus menerjemahkan dan menjelaskan problem nyata yang sedang dihadapi dirinya maupun masyarakatnya.
Untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan model pembelajaran lama, perlu dimumculkan model pendidikan ini. Kepada peserta didik tidak hanya diberikan contoh, teori sekaligus rumus, tetapi juga disertai dengan berbagai perilaku pemahaman (act/aekt of cognition/kog’nijan). Menerjemahkan muatan dan isi pelajaran ke dalam realitas sosial akan menjadi entry point dari apa yang disebut Freire sebagai pendidikan terhadap masalah (problem/prablem possing/posem education/edju’keijen). Untuk apa ada pendidikan kalau masalah kemanusiaan tetap bercokol di atas bumi.
Tantangan Global
Seorang futurolog yang cukup terkenal, Alvin Tofler (1989) menggunakan istilah ’kejutan masa depan’ (future/fju’ta shock) untuk menggambarkan situasi sekarang yang membuat kita terlempar pada suatu kondisi di mana kita mengalami ’’tekanan yang mengguncangkan dan hilangnya orientasi individu disebabkan kita dihadapkan dengan terlalu banyak perubahan dalam waktu yang terlalu singkat’’. Itulah situasi yang persis kita alami di Indonesia. Perubahan berskala besar dan cepat ternyata kita respons secara lambat. Dalam bidang pendidikan kita tertinggal jauh; jangankan dengan negara-negara besar; kita masih berada di bawah Malaysia, Vietnam, India yang beberapa tahun yang lalu kalah kualitasnya dengan pendidikan kita. Tetapi sampai kapan pun pendidikan sebagai suatu upaya menghadapkan manusia (peserta didik) pada realitas yang terus saja berubah saat ini sangat diharapkan perannya untuk mampu mengikuti arus zaman, bukan berarti untuk mengikis kemanusiaan melainkan justru untuk menemukan kondisi air kehidupan yang memungkinkan jiwa-raga bangsa berenang dengan indah. Globalisasi adalah arus utama yang membawa dampak mahahebat terhadap ruang waktu yang mengalami percepatan atau terjadinya dalam bahasa Anthony Giddens (2002) time/taim-space/speis-distanziation/dis’teistsisen. Tentu saja interaksi manusia dengan teknologi, manusia dengan manusia lain, semakin intensif: makna baru didapat dari objektivikasi baik rasional maupun irasional karena perkembangan basis material, Iptek yang terus berubah.
Tugas pendidikan adalah membawa generasi ini mampu merengkuh mekanisme yang lebih dekat agar dalam menghadapi kontradiksi alam selalu mengalami perubahan. Globalisasi sebagai proses terkait dengan globalution, yakni paduan dari kata globalization dan evolution/i:val’lu:jen. Dalam hal ini, globalisasi adalah hasil perubahan (evolusi) dari hubungan masyarakat yang membawa kesadaran baru tentang hubungan atau interaksi antarumat manusia. Evolusi pemikiran ke arah kematangan dan kemajuan yang mendorong produktivitas dan kreativitas ditimpakan pada pendidikan. Dalam bidang ekonomi, secara umum globalisasi disebabkan oleh penurunan hmbatan dalam perdagangan dan investasi serta kemajuan teknologi. Kenichi Ohmane (1996) menyebutkan faktor-faktor globalisasi sebagai 4 ’’I’’ (Investasi, Industri, Informasi, Individual). Perkembangan investasi terjadi karena perkembangan pasar modal yang menjadikan negara maju memiliki kelebihan modal untuk melakukan investasi secara meluas. Industri juga mengalami pengglobalan disebabkan oleh strategi perusahaan multinasional modern yang tidak lagi dibentuk dan dikondisikan oleh alasan kenegaraan. Informasi juga dipicu oleh perkembangan teknologi yang membuat manusia menemukan cara pandang baru yang memperluas perasaan dan interaksi global. Sedangkan individu juga mengalami pemaknaan baru; dari sudut pandang ekonomi kapitalis, individu sebagai konsumen mengalami perubahan orientasi secara global, terutama akses yang lebih baik terhadap informasi gaya hidup. Kapitalisme global membawa paham liberalisme dan individualisme untuk menciptakan stabilitas ekonominya.
Realitas global yang berkembang sekarang ini adalah pendidikan itu sendiri. Karena globalisasi telah membawa doktrin yang membentuk masyarakat, peserta didik dan juga pengajar tidak luput dari doktrin global. Singkatnya, sistem dan budaya pendidikan yang berkembang juga telah terhegemoni oleh perkembangan globalisasi. Globalisasi sebagai istilah tersendiri juga paling banyak diterima dan diucapkan di dunia pendidikan. Meskipun istilah globalisasi telah begitu terkenal, dalam banyak hal awalnya hampir tidak ada perdebatan ilmiah dan kritis terhadapnya, kecuali doktrin. Kalimat yang paling akrab di telinga kita sebagaimana sering dipidatokan para politisi ‘’pro globalisasi’’: ‘’mau tidak mau, suka tidak suka, kita tidak bisa mengindar dari arus globalisasi ... Masalahnya, bagaimana kita menyiapkan diri untuk menghadapinya, agar bisa memetik manfaat dari arus besar itu.’’
Tanpa membahas secara kritis, gambaran ekonomi global semacam itu demikian kuat, sehingga memukau para pengajar, bahkan para analisi, dan membius pemikiran sosial-politik kita. Namun menanggapi pemahaman yang banyak diterima itu, dua orang profesor Paul Hirst dan Grahame Thompson dalam Globalization in Question/kwestjen (2001:3) justru mempertanyakan: benarkah demikian? Kedua tokoh itu meragukan apakah betul telah terjadi proses pembentukan ekonomi global itu. Dengan menunjukkan data-data yang sangat akurat, Hirst dan Thompson mengatakan bahwa ‘’konsep globalisasi seperti yang telah dikemukakan oleh para penganut ekstrem teori globalisasi tidak lain dan tidak bukan adalah mitos belaka’’.
Lebih jauh, argumen yang dikemukakan oleh Hirst dan Thompson (2001:3) adalah: (1) tatanan ekonomi yang sangat mendunia sekarang ini bukannya tanpa preseden: itu tak lain hanyalah bagian dari gelombang turun naik (konjungtur/ku:ki) pertumbuhan ekonomi, atau keadaan ekonomi internasional yang mulai ada sejak ekonomi yang berlandaskan pada teknologi industri menyebar ke seluruh dunia sejak 1960-an. Dalam beberapa hal, ekonomi internasional sekarang ini justru lebih tidak terbuka dibandingkan dengan ekonomi dunia pada tahun 1870 hingga tahun 1914; (2) perusahaan internasional (TNC, transnational company/kampeni) yang murni jarang ditemukan. Perusahaan transnasional pada umumnya berbasis negara nasional dan kegiatan perdagangannya di berbagai belahan dunia bertumpu pada kekuatan produksi dan pemasaran di lokasi nasional, dan tidak ada kecenderungan ke arah perkembangan menjadi perusahaan internasional murni; (3) mobilitas pasar modal tidak mengakibatkan berpindahnya penanaman modal dan kesempatan kerja secara besar-besaran dari negara maju ke negara-negara berkembang. Sebaliknya penanaman modal asing (Foreign/fo:ren Direct/dai’rekt Investment/in’vestment = FDI) justru banyak terpusat di negara-negara industri maju, sedangkan Dunia Ketiga – Kecuali segelintir negara industri baru – tetap menempati posisi di pinggiran, baik dari sisi investasi maupun perdagangan; (4) seperti diakui para pendukung esktrem teori globalisasi, ekonomi dunia jauh dari bersifat ekonomi ‘’global’’. Sebaliknya, perdagangan, investasi, dan arus dana dewasa ini terpusat di wilayah Tritunggal – Eropa, Jepang, dan Amerika Utara – dan pemusatan ini tampaknya akan terus berlanjut; (5) kekuatan ekonomi Tritunggal (G-3) ini, dengan demikian, memiliki kemampuan – apalagi jika ada koordinasi di antara ketiganya dalam kebijakan ekonomi – untuk mengatur pasar modal dan aspek ekonomi lainnya. Karena itu, tidak benar bila dikatakan pasar dunia tidak bisa adiatur dan dikendalikan, meski pada saat ini ruang lingkup dan tujuan yang ingin dicapai dengan mengatur ekonomi dunia masih terbatas, karena kepentingan negara-negara besar ini berbeda dan doktrin ekonomi yang dianut oleh tiga elite itu juga berbeda.
Meskipun demikian, bahwa globalisasi bisa dikatakan ‘’mitos’’, realitas hubungan global tampaknya memiliki gerak historis yang bisa dijelaskan. Pada kenyataannya, globalisasi sudah menjadi pembicaraan dalam berbagai literatur akademik dan segera diadopsi di sekolah-sekolah dan universitas kita. Dalam penelitian James Petras (2002:56), bahwa: Kebangkitan “Ideologi Globalisme’’ pada awalnya ditemukan dalam jurnal-jurnal bisnis di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kemudian istilah globalisasi diambil alih oleh dunia akademik (ekonomi, sosiologi, kebudayaan, dan politik internasional) dan menjadi sebuah kerangka kerja yang diterima luas ketika berbicara tentang perluasan pasar modal internasional tanpa terlalu membahas asal-usulnya, hubungannya dengan kekuasaan dan hasil-hasilnya yang eksploitatif.
Kaitannya dengan posisi Dunia Ketiga, seperti Indonesia, juga diyakini bahwa negara-negara mana pun tidak akan ‘’selamat’’ bila menolak globalisasi kapitalis. Sebagaimana dikatakan Felix Wilfred (1996:13-14) bahwa: ‘’Tidak akan mengalami keselamatan (kemakmuran, kemajuan) bila berada di luar globalisasi, di luar kapitalisme, dan ekonomi pasar. Dogma ekonomi yang baru diproklamasikan ini mendapat gemanya di antara kelompok kelas atas dan kelas memengah masyarakat negara-negara Dunia Ketiga ... Jika kita tidak mau bergabung dengan proses globalisasi ini, kita akan tertinggal (atau ditinggal) dalam suatu lomba kebodohan.’’
Pada kenyataannya, globalisasi memang lebih diterima sebagai dogma dan ideologi daripada suatu realitas yang dijelaskan secara objektif. Sehingga globalisasi seakan-akan hanyalah ideologi atau dalam bahasa Marx ‘’kesadaran semu’’ yang menutupi hakikat sebenarnya. Penampilan ideologi globalisasi sangat ‘’cantik dan menarik’, tetapi ternyata menyembunyikan kejahatan yang hanya dapat dikenal oleh mereka yang menjadi korbannya.’’ Memang, pada realitasnya, globalisasi ‘’mencabut orang dan menjanjikan kemakmuran ... orang tersebut sebenarnya dihisap habis-habisan, kemudian dibiarkan mati kekeringan.’’ Karena ‘’ekonomi kapitalis liberal yang merupakan pusat dari proses globalisasi.’’
William Robinson (1996) menunjukkan bahwa globalisasi terdiri dari dua proses. Pertama, kulminasi dari proses yang dimulai beberapa abad yang lalu, ternyata di dalamnya terdapat hubungan produksi kapitalis meruntuhkan dan menggantikan seluruh hubungan prakapitalis hampir di seluruh dunia. Kedua, transisi lebih dari beberapa dekade hubungan bangsa-bangsa melalui pertukaran komoditas dan aliran modal dalam pasar dunia yang terintegrasi, ternyata di dalamnya terdapat model produksi yang berbeda berkoeksistensi dalam formasi-formasi sosial ekonomi nasional dan regional yang luas bisa lepas dari keterikatan eksternalnya, yaitu globalisasi proses produksi itu sendiri.
Pembagian kerja ’’kolonial’’ telah mentransformasikan dengan munculnya MNC (multinational corporations) sebagai agen utama aktivitas ekonomi internasional dan gelombang yang terjadi dalam revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi (scientific/saian’tifik and technological/tekne’lodjikal revolution=STR) STR pertama dimulai setelah Perang Dunia II dan terfokus pada teknologi intensif sebagai modal (energi nuklir, teknik otomatik baru, bahan-bahan sintetik, komputer dan elektronik, dan lain-lain); STR Kedua dimulai tahun 1960-an dan tercakup di dalamnya generasi komputerisasi kedua, elektronika dan teknologi sintetik, dan teknologi komunikasi yang baru. Pertama membentuk pergeseran dari produksi dengan menekankan tenaga kerja menuju produksi yang menekankan modal sebagai alat akumulasi dalam skala global. Kedua dari intensifikasi modal ke teknologi dan ilmu pengetahuan dan penelitian untuk mengembangkan teknologi yang canggih (komputerisasi, elektronika, telekomunikasi, teknologi robotik, sibernetik, ilmu luar angkasa, dan lain-lain.
Dominasi globalisasi sebenarnya merupakan model imperailisme baru, bukan hanya menebarkan ideologi yang menumpulkan daya kritis masyarakat dan anggota komunitas atau lembaga pendidikan seperti sekolah dan universitas. Penggunaan istilah imperialisme ini untuk memahami dan menjelaskan globalisasi berdasarkan akta globalisasi dalam potensi empirisnya dibandingkan potensi normatifnya. Argumen ini juga didukung oleh fakta bahwa globalisasi yang terjadi dewasa ini dipandang sebagai proyek kelas, bukan sebagai suatu yang niscaya. Dalam hal ini, globalisasi dipandang tidak sebagai istilah khusus yang bermanaat untuk mendeskripsikan dinamika proyek ini, tetapi lebih sebagai ’’alat ideologis yang lebih digunakan untuk deskripsi daripada preskripsi yang akurat’’. Sehingga globalisasi dapat diganti dengan sebuah istilah yang menggunakan nilai deskripsi dan kekuatan penjelas yang lebih adekuat, yakni ’’imperialisme.’’
Dengan menggunakan istilah imperialisme, jaringan lembaga-lembaga yang menentukan struktur sistem perekonomian global yang baru dilihat bukan dalam pengertian struktural, melainkan dalam pengertian kesengajaan dan ketergantungan yang dikendalikan oleh oang-orang merepresentasikan dan berusaha mendahulukan kepentingan kelas kapitalis internasional yang baru. Kelas ini pada kenyataannya dibentuk berdasarkan lembaga-lembaga yang meliputi sekitar 37.000 perusahaan transnasional (TNC), unit-unit kerja kapitalisme global, penyalur –penyalur modal dan teknologi serta agen-agen besar tatanan imperial baru. Perusahaan-perusahaan transnasional tersebut bukan hanya menjadi penyangga organisatoris tatanan imperial ini, termasuk Bank Dunia, IMF, dan Lembaga-Lembaga keuangan internasional dan lain (IFI) yang mengklaim diri sebagai ’’komunitas keuangan internasional’’, atau apa yang disebut Barnet dan John Cavenagh (2002) sebagai ’’jaringan keuangan global’’. Tatanan dunia baru ini juga disangga oleh banyak sekali forum prencanaan dan kebijakan strategis seperti G-7, Komisi Trilateral (TC) dan World/we:ld Economic/i:ke’nomik Forum (WEF); serta aparatur pemerintahan di negara-negara yang menjadi pusat sistem yang telah direstrukturisasi sedemikian rupa sehingga dapat melayani dan merespon kepentingan-kepentingan modal global. Seluruh lembaga tersebut merupakan sebuah bagian integral dari imperialisme baru, yaitu sistem ’’pemerintah global’’ baru.
Ketika korporasi global mampu menjangkau keseluruh penjuru dunia, mereka tidak hanya membawa produk-produk dan merek-merek yang sudah mapan, tetapi juga media-media dan metode-metode pemasaran yang canggih untuk menjajah setiap kultur yang mereka jumpai. The Economist melaporkan, bahwa pada tahun 1989 saja, korporasi global menghabiskan belanja iklan total lebih dari $240 miliar. Biaya lain sebesar $380 miliar dihabiskan untuk kemasan, desain, dan promosi di tempat penjual (point-of-sale/seil-promotions) lainnya. Secara bersama, pengeluaran ini berjumlah $120 per kepala untuk seluruh dunia. Meskipun sebagian besar pengeluaran korporat ini ditujukan untuk menciptakan permintaan akan produk tertentu, ia juga membantu menciptakan kultur konsumen global yang bersifat umum. Tujuannya, untuk menciptakan kesan di benak masyarakat bahwa kepentingan akumulasi kapital – khususnya kepentingan korporasi besar – adalah sama dengan kepentingan masyarakat luas. Secara keseluruhan, korporasi menghabiskan dana per kapita untuk menciptakan konsumen yang bersahabat lebih dari separo dana per kapita yang digunakan dunia untuk pendidikan masyarakat (Dana dunia untuk pendidikan masyarakat adalah $207 per kapita. Untuk negara-negara selatan angka ini adalah $33). Pertumbuhan belanja periklanan jauh melebihi kenaikan belanja pendidikan.
Menghadapi globalisasi dengan imbasnya dalam membentuk struktur ide masyarakat, pendidikan harus mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut, terutama menekankan pada metode belajar yan mendekatkan peserta didik pada ’’dunia secara utuh’’, keterkaitan antara satu kondisi dengan kondisi lain yang saling mempengaruhi antara satu bangsa dengan bangsa lain, antara satu komunitas dengan komunitas lain; globalnya kehidupan harus disambut dengan globalnya pemikiran, luasnya jangkauan wawasan dan pengetahuan, serta penguasaan teknologi untuk menyambut masa depan kemajuan di bidang teknis yang pada kenyataannya berkembang sangat cepat.
Menurut Merryfield (1997:232) dalam buku Preparing/pri:pering Teacher/ti:tej to Teach Global/gloubel Perspectives mengatakan: ’’ada tiga syarat yang harus dimiliki oleh guru dalam mengembangkan pendidikan perspektif global: kemampuan konseptual, pengalaman lintas budaya dan keterampilan pedagogis.’’ Pertama, kemampuan konseptual berkenaan dengan peningkatan pengetahuan guru dalam konteks isu-isu global. Guru harus memiliki wawasan tentang isu, dinamika, sejarah, dan nilai-nilai global agar mereka memiliki keterampilan mengapresiasikan persamaan dan perbedaan budaya dalam masyarakat dunia. Penguasaan konseptual dalam tema perspektif global diyakini dapat menjadi pemicu (trigger/trige) yang cukup potensial bagi guru dalam membangun suasana belajar yang dinamis agar siswa mampu merespons isu-isu lokal dalam kaitannya dengan masalah global. Guru harus dapat mengaitkan isu-isu apa pun, baik lokal maupun nasional, dalam hubungannya dengan kejadian global. Dalam pelajaran ekonomi, misalnya, kondisi ekonomi daerah dan nasional dianalisis dari perspektif global, hubungan ekonomi antarnegara, dan juga percaturan modal yang mengalir antara satu negara dengan negara lain. Masalah politik juga dapat dikaitkan dalam hubungannya dengan kepentingan global dalam pelajaran kewarganegaraan. Sementara masalah multikulturalitas dan multinasionalitas bisa menjadi topik yang menarik dalam pelajaran bahasa Inggris.
Kedua, pengalaman lintas budaya (interculturalism). Syarat ini masih belum banyak dimiliki oleh para guru kita, terutama disebabkan oleh profesi guru yang berlatar belakang studinya hanya di daerah atau nasional. Mayoritas guru kita adalah lulusan di bawah S1 dan rata-rata sekolahnya tidak berada jauh dari tempat asalnya. Berbeda dengan lulusan S1 atau perguruan tinggi yang biasanya dihuni oleh mahasiswa dari berbagai macam etnik, ras, agama, dan adat-istiadat. Mereka telah belajar berinteraksi secara inter-kultural dan demikian lebih dapat mengerti perbedaan latar belakang masing-masing orang. Di samping itu, juga sangat sedikit guru yang pernah belajar ke luar negeri yang secara langsung pernah hidup dalam keadaan budaya yang berbeda dengan dirinya. Kesadaran multi-budaya akan mudah terbentuk apabila orang secara langsung mengalaminya dalam kehidupan sesungguhnya. Ketidaktahuan hanya akan menimbulkan adaptasi terhadap hasil interaksi dengan orang dari etnis atau etinitas budaya lain yang ditemuinya. Dalam proses globalisasi terjadi transnasionalisasi sehingga apa yang bersifat lokal dapat menembus batas-batas teritorial dan mengalami pemaknaan yang berbeda bagi umat manusia. Jadi, tidak berarti bahwa trans-nasionalisasi atau globalisasi ini tidak terkait dengan ’’tempat’’. Trans-nasionalisasi atau globalisasi memungkinkan manusia untuk membuat tindakan simultan dalam pelbagai tempat yang berbeda sekaligus. ’’Global’’ di sini berarti ’’trans-lokal.’’ Globalisasi bukanlah suatu yang mengembangkan apa saja dengan dalih keuniversalan, tetapi bukan berarti tidak terikat pada tempat. Tempat atau kebertempatan bukan hilang, diberi makna yang baru. Inilah yang kemudian muncul istilah dari Roland Robertson (1996) yakni glokalisasi. Apa yang lokal bukannya tidak penting, tapi justru dapat arti yang baru dalam hubungan masyarakatnya.
Ketiga, keterampilan pedagogis dalam perspektif global menurut Roland Robertson (1996) adalah ’’the practice of teaching and learning globaliy oriented content in ways/weisaid that support/se’po:t diversity/dai’ve:siti and social/soujel justice/jastis in interconnected world.’/we:ld’ Keterampilan pedagogis tentunya menyangkut metode mengajar yang tepat oleh guru agar peserta didik dapat memahami suatu masalah dalam konteks yang luas dan komprehensif (global). Selain menguasai materi dan konsepsi permasalahan, guru harus memiliki kemampuan agar apa yang disampaikan mudah diterima, serta muncul motivasi bagi peserta didik untuk mempelajari dan mendalami tema-tema yang ada di luar kelas.
Semuanya akan tergantung pada kebijakan pendidikan baik yang menyangkut metode maupun materi yang disampaikan pada peserta didik. Pemaknaan secara global terhadap masalah-masalah lokal ini merupakan kata kunci dalam tujuan tersebut. Untuk menjelaskan gejala-gejala alam dan hubungan sesama (baik dalam ilmu alam, eksak, maupun ilmu sosial dan humaniora), para pendidik sebaiknya membawanya pada pemaknaan secara global, terutama kalau dalam memberikan penjelasan dan berdialog dengan peserta didik sedang mengangkat tema-tema demokrasi dan HAM. Penekanan ini akan melahirkan penjiwaan baru yang membawa generasi kita untuk berpikir secara global, dengan demikian dapat memaknai hubungan antarsesama manusia secara holistik dan tidak parsial.
Metode lainnya adalah melalui buku-buku pelajaran dan bacaan-bacaan yang tidak saja memacu semangat ilmu penetahuan dan teknologi modern, global, dan menunjukkan tingkat penemuan baru, tetapi juga harus memuat materi-materi dan contoh-contoh yang meluaskan imajinasi global peserta didik. Misalnya, kasus-kasus atau peristiwa tentang (masyarakat, kebiasaan, teknologi, bahkan permaalahan) negara lain sering dijadikan contoh, tetapi hal ini juga mesti dibandingkan dengan kondisi masyarakat kita sendiri. Dengan menceritakan negara atau benua lain, secara simultan otak peserta didik dibawa untuk membayangkan tempat itu, lalu dibawa kembali ke negara sendiri, untuk dibandingkan. Hal ini akan memacu semangat untuk maju dan berpikir, karena pada saat otak manusia didorong untuk berpikir akan suatu tempat yang jauh dari tempat ia berada otaknya sedang memperluas perspeksi.
Penutup
Peran guru sangat diharapkan karena guru adalah pemandu dan teman dialog bagi peserta didik, bukan hanya orang yang bertugas mendiktenya. Globalisasi sedang menunggu, biarkanlah anak-anak didik mengetahui kebebasan menikmati dunia dengan keanekaragaman. Mari kita dorong mereka untuk memacu tenaga produktif dan kreativitas dalam menghadapi proses pengglobalan (bukan penggombalan).
Demikianlah sekelumit pemikiran yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi penyelesaian persoalan bangsa dan negara tercinta. Paling tidak, menjadi input bagi persoalan pendidikan kita dalam menghadapi tantangan global, yang akhirnya kualitas pendidikan kita akan setara dengan negara-negara di berbagai belahan dunia ini.
0 Komentar