Terbaru

6/recent/ticker-posts

Asal Mula Kraton Pajang

Di desa Pajang, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo terdapat reruntuhan bangunan yang dipercaya sebagai sisa – sisa bangunan keraton. Sampai sekarang masyarakat sekitar percaya bahwa sisa – sisa reruntuhan bangunan itu adalah sisa bangunan Keraton Pajang yang dahulu didirikan oleh Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Dimasa mudanya, Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya dikenal sebagai seorang yang sakti, pilih tanding dan nyaris tak ada yang dapat mengalahkannya. Maka tidak mengherankan jika sampai sekarang banyak para peziarah yang bertirakat di bekas reruntuhan Keraton Pajang ini. Mereka berharap bisa mendapatkan warisan pusaka atau kejayaan seperti Jaka Tingkir, lalu bagaimana sampai bisa terjadi di Pajang itu didirikan keraton ? dan siapa sebenarnya Jaka Tingkir itu ? inilah kisahnya.




Konon menurut sejarah tanah Jawa, Jaka Tingkir  dimasa kecilnya bernama Mas Karebet karena pada waktu dilahirkan orang tuanya sedang mengandung dan mementaskan wayang karebet. Dia putra dari Ki Ageng Kebo Kenongo, seorang tokoh sakti dan sekaligus panguasa Kadipaten Pengging. Ki Ageng Kebo Kenongo sendiri adalah putra dari Ki Ageng Pengging Sepuh yang bergelar Pangeran Handayaningrat yang merupakan menantu dari Raja Brawijaya, raja Kerajaan Majapahit yang terakhir. Jadi Mas Karebet bukanlah anak orang sembarangan, dalam tubuhnya mengalir darah raja dan tokoh sakti pada jaman itu.





Ki Ageng Kenongo dan putra Pangeran Handayanigrat lainnya seperti Ki Ageng Kebo Kanigoro dikenal masyarakat sebagai tokoh-tokoh sakti dan disegani. Nama mereka mashur sejak masa akhir Majapahit sampai awal berdirinya kerajaan Demak. Sayang karena sikapnya yang menentang Kerajaan Demak dan lagi Ki Ageng Kebo Kenongo menjadi murid Syekh Siti Jenar, dia kemudian dibunuh oleh utusan Demak.
Wafatnya Ki Ageng Kebo Kenongo menyebabkan duka yang sangat dalam bagi Nyai Ageng Kebo Kenongo, ibunda Mas Karebet itupun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Mas Karebet pun menjadi yatim piatu dalam usia yang masih kanak-kanak itu. Dia kemudian diambil anak oleh Ki Ageng Tingkir. Sesuai dengan wasiat Ki Ageng Kebo Kenongo yang jauh hari sudah meramalkan datangnya peristiwa kematiannya itu.






Hari dan tahun berganti, Mas Karebet yang diasuh oleh Ki Ageng Tingkir telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tegap dan gagah. Orang-orang di sekitarnya kemudian lebih senang memanggilnya dengan nama Jaka Tingkir. Dalam didikan dan gemblengan Ki Ageng Tingkir yang keras dan dilatih sahabat-sahabat Ki Ageng Kebo Kenongo seperti Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Banyubiru, Jaka Tingkir menjelma menjadi seorang pemuda yang sakti. Dia gemar mengembara dan bertapa di tempat yang dianggap angker.







Pada suatu hari, ketika Jaka Tingkir sedang bertapa di sebuah hutan yang angker, tiba-tiba ada sebuah suara gaib yang membangunkan bertapanya.
“He, engkau pemuda yang dipilih jaman, pergilah dan penuhilah takdirmu, engka akan menjadi raja ….”
Jaka Tingkir begitu terperanjat mendengar suara itu, namun segera bisa menenangkan perasaannya kembali. Dan dengan penuh rasa syukur segera kembali untuk memohon petunjuk Ki Ageng Tingkir yang sudah dianggap ayahnya sendiri.
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Ayah ?” bertanya Jaka Tingkir mohon petunjuk.
“Pergilah ke Demak, anakku. Mengabdilah kepada Sultan Demak niscaya jalanmu ke arah singgasana semakin dekat,” lanjut Ki Ageng Tingkir.
Jaka Tingkir pun segera mohon diri untuk memenuhi takdirnya. Dia berangkat menuju Demak dengan naik rakit mengikuti aliran sungai Bengawan Solo. Setelah berhari-hari mengarungi Bengawan Solo sampailah putra Ki Ageng Kebo Kenongo itu di sebuah kedung sungai yang sangat dalam dan berbahaya. Kedung itu bernama Kedung Srengenge.








Di kedung yang terkenal angker itu tiba-tiba rakit yang ditumpangi Jaka Tingkir berhenti dengan sendirinya. Jaka Tingkir pun heran karena ditengah arus sungai yang deras yang bisa membawa rakitnya sampai ke wilayah Demak, tiba-tiba saja rakitnya tak bisa bergerak.
“Ada apa ini, kenapa rakitku tak bisa bergerak ?” gumam Jaka Tingkir sambil memeriksa rakit dan keadaan sekitarnya.
Keheranannya pun terjawab, puluhan buaya ternyata telah mengepung dan menggigit rakitnya. Buaya – buaya itu bukan main besar dan seramnya. Sesaat Jaka Tingkir bergidik melihat rupa para pengepungnya. Namun bukan putra Pengging kalau harus menyerah menghadapi bahaya itu. Dia segera melolos keris pusaka warisan leluhurnya.
Keris pusaka Kiai Carubuk tampak bersinar terang ketika dilolos dari wrangkanya. Buaya-buaya yang mengepung rakit Jaka Tingkir pun terperanjat diterpa sinar kuat yang memancar dari keris Jaka Tingkir dan merasakan getaran kesaktiannya. Dan Jaka Tingkir pun seperti mendengar suara yang cukup dikenalnya.
“Jangan takut, putraku. Mereka bukan buaya sembarangan, mereka para siluman yang menjelma menjadi buaya. Taklukkan mereka, aku bersamamu …”
Jaka Tingkir pun bertambah tegar mendengar suara ayahandanya itu. Dengan lantang dia menantang buaya jadi-jadian itu.
“Aku Karebet, putra Pengging. Aku melewati wilayahmu ini hendak ke Demak. Aku hendak memenuhi takdirku sebagai raja tanah jawa. Apakah kalian akan merintangi aku ….?








Sesaat Bengawan Solo itu sepi, hanya bunyi air yang terdengar, namun kemudian kegemparanpun terjadi. Seekor buaya yang sangat besar tiba-tiba melenting tinggi di udara, buaya raksasa ternyata dapat bersuara seperti halnya manusia.
“Hei, manusia. Jangan gegabah mengaku sebagai raja tanah Jawa. Hadapi dulu aku penguasa Kedung Srengenge …!”
Bersamaan dengan suaranya yang menggelegar itu, buaya siluman dengan dahsyat menyerang Jaka Tingkir. Buaya dengan gigi-gigi sekuat baja serta ekornya yang panjang dan bergerigi menyambar-nyambar dengan dahsyat. Namun Jaka Tingkir bukanlah pemuda sembarangan. Dengan tangkas dia menghindari serangan buaya itu. Dia berloncatan diatas wakit dan diatas tubuh buaya-buaya yang mengepung rakitnya itu, dan kemudian berbalik menyerang dengan keris saktinya.


Akhirnya buaya siluman penguasa Kedung Srengenge itu tak kuasa lagi menandingi kesaktian Jaka Tingkir. Sebelum keris ampuh Kiai Cambuk menewaskan dirinya, raja siluman buaya itu menyatakan takluk. Dan sebagai tanda takluknya, siluman buaya itu bersedia mendorong rakit Jaka Tingkir agar lebih cepat sampai di Demak.
Begitulah, dengan bantuan siluman buaya Kedung Srengenge itu, Jaka Tingkir dapat lebih cepat sampai di Demak. Dia segera mendaftarkan diri sebagai prajurit di Demak. Oleh karena keberanian dan kesaktiannya, prestasinya pun melejit dengan cepat. Jaka Tingkir diangkat sebagai lurah prajurit.





Sayang prestasinya yang melejit dengan cepat menjadikan Jaka Tingkir takabur. Dia melakukan kesalahan besar karena membunuh calon prajurit. Akibat kesalahannya itu, Jaka Tingkir dicopot dari jabatannya dan diusir dari wilayah Demak.
Putera Pengging itu akhirnya hanya dapat meratapi nasibnya di makam ayahandanya. Berhari-hari lamanya dia di makam Ki Ageng Kebo Kenongo itu, akhirnya petunjuk itu didapatnya juga.
“Puteraku, jangan bersedih. Bangkit dan pergilah. Temuilah Ki Ageng Banyubiru, dia akan menuntun jalanmu kembali ke Demak.”
Jaka Tingkir pun kembali bersemangat mendapat petunjuk ayahandanya itu. Dia segera mohon petunjuk Ki Ageng Banyubiru. Oleh tokoh sakti itu, Mas Karebet dibekali dua kepalan tanah yang sudah diberi mantera oleh Ki Ageng Banyubiru.
“Tangkaplah seekor kerbau hutan, dan sumbatlah kedua telinganya dengan tanah ini. Maka kerbau itu akan membuat geger Demak. Hanya engkau yang dapat membinasakannya,” berkata Ki Ageng Banyubiru dengan sungguh-sungguh.


Tak berapa lama terjadilah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Banyubiru. Di alun-alun Demak, seekor kerbau gila mengamuk dengan hebatnya. Prajurit Demak yang mencoba menangkap dan membinasakan kerbau itu dibuat kocar-kacir dan lari tunggang langgang. Kerbau gila itupun bertambah buas dan mengamuk mendekati istana.
Istana Demak geger. Sultan Trenggono segera mengadakan sayembara, barang siapa bisa menangkap hidup atau mati kerbau gila itu akan diberi hadiah yang besar. Disamping itu juga akan dijadikan menantu Sultan Demak. Namun tak seorangpun diwilayah Demak yang sanggup menandingi kerbau hutan yang ganas itu.


Joko Tingkir pun tampil ke depan, dengan terlebih dahulu mengeluarkan sumbatan di telinga kerbau gila itu, Jaka Tingkir  dapat menewaskan kerbau itu dengan sekali pukul.
Sultan Demak pun berkenan dengan jasa Jaka Tingkir itu. Putera Pengging itu dipulihkan nama baiknya, dan di angkat sebagai menantu baginda. Disamping itu Jaka Tingkir juga dinobatkan sebagai Adipati di Pajang. Dan setelah Sultan Trenggono wafat, Jaka Tingkir dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Sultan yang baru itu kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang. Itulah sebabnya mengapa di daerah Pajang sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisa sebuah keraton.
--- 000 ---




Moral Cerita :
Cerita ini termasuk legenda karena menceritakan terjadinya sebuah tempat. Pelajaran yang bisa dipetik dari cerita ini adalah sifat kegigihan hati Jaka Tingkir dalam mewujudkan cita-citanya. Namun begitu legenda ini juga mengajarkan bahwa peran orang tua dalam mewujudkan cita-cita anaknya juga tidak bisa diabaikan. Tanpa bimbingan dan peran serta para orang tua, belum tentu Jaka Tingkir akan begitu mudah mewujudkan cita-citanya.

Posting Komentar

0 Komentar