Kota Palembang sejak jaman dahulu kala sudah sangat terkenal sebagai kota perdagangan. Setiap hari hilir mudik kapal-kapal besar maupun kecil menyusuri Sungai Musi. Kapal-kapal itu adalah kapal para pedagang yang datang tidak hanya dari sekitar pulau Sumatra, tetapi juga dari Jawa, dan bahkan dari India dan Cina.
Dikisahkan, diantara sekian banyak pedagang itu, ada seorang pemuda dari Cina keturunan bangsawan yang sering datang berdagang di Palembang. Pemuda itu sering datang berdagang di Palembang, pemuda itu pun jatuh hati kepada seorang putri bangsawan yang menjadi langganannya. Putri itu bernama Fatimah, seorang gadis yang elok parasnya dan baik budi pekertinya.
Pemuda dari seberang itu pun amat berbahagia karena cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Fatimah menerima cintanya dan kedua orang tuanya pun sangat merestui hubungan mereka. Namun sebagai orang yang berdarah bangsawan, keluarga Fatimah pun menghendaki agar orang tua Si pemuda yang datang meminang putrinya.
Pemuda itu pun menyambut baik persyaratan yang diajukan oleh kedua orang tua Fatimah. Dia kemudian menitipkan surat kepada salah seorang temannya yang kapalnya sudah siap mengarungi laut luas menuju ke Cina. Dalam suratnya pemuda itu memohon dengan sangat agar kedua orang tuanya datang ke tanah Sumatra untuk meminang Fatimah.
Beberapa lama kemudian kapal temannya itu sudah merapat kembali ke Palembang. Dengan tidak sabar lagi pemuda itu segera menjumpai temannya.
“Ini ada dua surat dari orang tuamu. Satu untukmu dan satu lagi untuk orang tua Fatimah,” kata temannya.
Dengan penuh sukacita pemuda itu segera membaca surat dari orang tuanya. Namun betapa kecewa hatinya ketika mengetahui isi surat itu, karena orang tuanya tidak bisa datang. Akan tetapi kedua orang tuanya merestui hubungan cinta mereka dan meminta maaf kepada keluarga Fatimah.
Akhirnya keluarga Fatimah pun bisa memaklumi alasan orang tua pemuda dari daratan Cina itu, dan pernikahan mereka dilangsungkan dengan meriah. Kedua mempelai itu pun hidup bahagia dan saling mengasihi. Namun seiring berjalannya waktu, Fatimah kembali ingin bertemu dengan orang tua suaminya itu. Fatimah ingin sekali berbakti kepada mereka. Maka suaminya kembali menitipkan surat kepada temannya yang bersiap untuk kembali ke daratan Cina.
Beberapa lama kemudian, kapal temannya itu pun sudah nampak berlabuh kembali di Palembang. Fatimah dan suaminya dengan tak sabar segera menyongsong sahabatnya yang baru datang itu.
“Orang tuamu akan berusaha datang, namun waktunya belum bisa mengatakannya. Hanya sebagai bukti rasa sayangnya kepada Fatimah, orang tuamu akan mengirim satu guci penuh emas,” kata pedagang temannya itu.
Mendengar pesan itu, Fatimah dan suaminya merasa lega. Bukan karena kiriman emas seguci penuh yang hendak dikirimkan orang tuanya, tetapi juga karena janji mereka yang bakal ke Palembang.
Beberapa waktu kemudian, datanglah pedagang dari Cina menemui Fatimah dan suaminya. Mereka menyatakan membawa barang titipan untuk disampaikan kepada Fatimah dan suaminya. Karena kapal layar mereka sangat besar dan keadaan angin tidak mengizinkan, mereka terpaksa berlabuh di laut Muara Sungai Musi. Mereka masuk ke Palembang menggunakan jongkong dan tongkang.
“Dimanakah barang titipan orang tuaku itu?” tanya suami Fatimah.
“Masih di dalam kapal. Tujuh buah guci besar masih utuh di kapalku,”
“Tujuh buah?” tegas suami Fatimah heran.
“Benar.Tujuh buah. Kami tidak tahu isinya apa. Kemungkinan sayur tradisional kita, pakasem,” jawab pedagang temannya.
Meskipun didalam hatinya masih bertanya-tanya, suami Fatimah itu meminta agar barang-barang titipan orang tuanya itu segera dikirim ke Palembang. Di dalam hatinya, suami Fatimah itu sangat khawatir bila isi ketujuh guci itu benar-benar pakasem seperti yang dikatakan oeh pedagang temannya itu. Di negaranya, pakasem memang merupakan sayur-mayur yang mahal harganya karena cara pengolahannya sangat rumit. Namun bagi orang-orang di luar Cina, apalagi orang Palembang, pakasem itu tak ada harganya. Jangankan untuk memakannya, untuk menciumnya pun tak ada yang mau.
“Betapa malunya aku bila ayah dan ibu hanya mengirim pakasem. Bukan mustahil orang tua Fatimah akan merasa diremehkan dengan kiriman pakasem itu,” pikir pemuda suami Fatimah cemas.
Beberapa hari kemudian awak kapal dari muara telah tiba. Jongkong yang membawa guci berlabuh di tengah sungai Musi. Mereka segera mengabarkan keada keluarga Fatimah.Fatimah dan suaminya dengan menggunakan perahu datang ke jongkong yang berlabuh di tengah sungai. Benar apa yang dikatakan mereka.Tujuh guci terletak di lantai jongkong.Dengan harap-harap cemas, suami Fatimah mendekati guci diikuti oleh Fatimah, sementara para awak jongkong hanya berdiri memandang.
Tiba-tiba suami Fatimah meraih sebuah bilah dan memukulkannya pada sebuah guci. Guci pecah dan pakasem tumpah di lantai jongkong.
“Kenapa dipecahkan?!” seru Fatimah tak mengerti.
Namun suaminya yang khawatir jika kiriman orang tuanya hanya pakasem,bertambah gelisah.Dia kembali memecahkan guci-guci berikutnya. Pakasem pun kembali tumpah memenuhi lantai jongkong. Para awak kapal hanya bisa ternganga, mereka sangat menyayangkan sayur pakasem yang mahal hanya dibuang.. Fatimah pun tak kalah bingungnya melihat tindakan suaminya.
Sementara suaminya yang telah memecahkan lima guci, dan semua berisi pakasem menjadi semakin sedih dan memuncak kekecewaannya. Ia benar-benar merasa malu orang tuanya hanya mengirim pakasem karena orang tua Fatimah sama sekali tak menyukai pakasem. Dengan putus asa dia kembali memecahkan satu guci lagi. Dan dia pun menjerit dengan hati pilu ketika sekali lagi sayur pakasem yang tumpah.
“Aku malu! Malu kepada keluarga istriku...!” teriaknya dengan putus asa dan suami Fatimah itu pun terjun ke sungai.
Fatimah berlari berusaha mengejar suaminya, tanpa sengaja melanggar guci yang ketujuh. Guci ketujuh itu pecah, dan emas-emas batangan pun berserakan di lantai jongkong. Namun Fatimah tak menghiraukannya. Dengan gugup dia berlari-lari di tepi jongkong hingga jongkong itu pun miring karena batangan-batangan emas bergerak miring.
Fatimah pun nekat ikut terjun ke sungai karena suaminya tak kunjung muncul ke permukaan.Namun nasib Fatimah pun sama dengan suaminya, tenggelam dan tak muncul lagi di permukaan.Dan seiring dengan meloncatnya Fatimah ke dalam sungai, jongkong itu pun miring dan kemudian ikut tenggelam. Keajaiban pun terjadi, tempat tenggelamnya jongkong itu kemudian muncul sebuah gundukan tanah yang akhirnya makin membesar dan menjadi sebuah pulau. Pulau itu kemudian dinamakan Pulau Kembaro sampai sekarang.
0 Komentar