
Lebaran yang bisa juga diartikan Bakda yang juga bermakna selesai, seakan menjadi tradisi atau budaya kaum urban. Ada juga yang beranggapan, ketika kaum pemudik bangga dengan keberhasilan perantaunnya. Sehingga dalam lebaran “mudik” ke kampung halaman, berjumpa dengan orang tua sanak saudara juga kerabat. Meskipun banyak kaum mudik juga kebanyakan abangan, akan tetapi hal tersebut menjadi hal yang seakan “wajib” untuk kaum mudik. Sehingga dalam perjalanan mudik memerlukan persiapan yang khusus, baik dari kesiapan kendaraan, bekal, yang penting bisa pulang kampong, bila mana perlu membanggakan dengan keberhasilan rantauannya. Disinilah masyarakat lupa akan nilai lebaran atau bakda.
Sejauh mana mereka melaksanakan puasa sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. yang berpegang dari Al Qur’an dari Surat Al-Baqarah, 183. Seharusnya mereka memaknainya puasa, yang berpuncak untuk menjadi insan yang bertakwa, karena itulah puncak dari nilai ramadlon. Lebaran, bakda berkumpul dengan sanak saudara adalah perlu, akan tetapi lebih penting “mampu” mengamalkan dengan baik dan benar, dan yang pasti adalah saling maaf memaafkan antar sesama. Meski sebenarnya, meminta maaf tidak harus menunggu lebaran. Sehingga, lebaran dilambangkan simbul ketupat atau kupat, yang berasal dari bahasa jawa (jarwa dhosok), kula lepat. Mohon maaf bila ada kesalahan.
Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Maka, dengan nilai membudayakan tradisi lebaran atau bakda, menjadikan insan sosial yang lebih bertakwa dari hari-hari kemarin. Tidak memaknainya lebaran dengan suka cita, pakaian baru, bagi-bagi “fitrah (uang)” untuk anak-anak kecil dari orang tua. Untuk lebaran 1434 H semoga membawa berkah yang manfaat, setelah saling maaf memafkan, bukan lagi sekedar menjadi tradisi yang membudaya, tetapi nilai esensinya. (omahtulis@rocketmail.com
0 Komentar