Terbaru

6/recent/ticker-posts

RAHASIA DI SERAT ANDHUPARA

Orang awam jarang mengetahui, apa makna andhupara. Serat andhupara bermakna buku  yang memuat kata-kata hal yang mustahil. Bahkan cerita itu dianggap benar terjadi, pada hal sebenarnya tidak terjadi. Serat Andhupara sendiri ditulis oleh pujangga keraton Surakarta Raden Ngabehi suradipura. Barang kali di tengah-tengah masyarakat menjadi pertanyaan besar, bahkan terasa dibuat bingung apa yang dimaksudkan oleh sang pujangga. Kekritisan itu perlu, namun perlu diingat, bahwa para pujangga dahulu semasa kerajaan di Jawa Dwipa penuh dengan kiasan, misalnya Jaya Baya, Raden Ngabehi Rangga Warsita dan juga Raden Ngabehi suradipura. Rupanya pergolakan serta permainan politik sangat mewarnai “sabda” penguasa. Dan akhirnya, sejarah sekalipun, ditulis oleh siapa dan untuk siapa.
    Bagi masyarakat Jawa Tengah khususnya dan Jawa pada umumnya, kisah Mas Karebet (Jaka tingkir), kelak menjadi raja Pajang sudah tidak asing dengan kisah fenomenalnya tentang perahu atau gethek “sinangga bajul cacah kawan dasa kang jageni....”. Perjalanan calon raja dalam petualangan hidup menjadi raja. Bukan hanya itu saja, kisah tentang Panembahan Senopati (jebeng) yang mendapat wisik dari batu lintang, bahwa dirinya kelak akan menjadi raja Jawa (Mataram Islam)
    Berbagai misteri yang dianggap wingit, dimana sang pujangga harus membuat sanepa  atau pralambang, untuk menggambarkan kejadian yang sebenarnya  penuh dengan kiasan. Dalam kupasan serat andhupara banyak kejadian yang termuat sebagai contoh:  Kia Ageng Sela menaklukkan petir, Raden Jaka Tingkir membunuh orang bernama Dhadhungawuk, teluh Kumpeni Belanda melawan Raja tanah Jawa serta masih banyak lagi lainnya.
    Satu yang ingin disampaikan dalam tulisan ini berkisah tentang Jaka Tingkir dalam proses menjadi raja atau sultan Pajang, yang diawali dari kerajaan Demak. Yang mana serat ini termuat dalam serat tembung andhupara, artinya kejadian yang sebenarnya tidak terjadi tetapi seperti “dikatakan” benar-benar terjadi, termasuk aib sang penguasa di cerita masyarakat.
    Kiasan.
    Alkisah. Saat siswa bertanya kepada sang dwija atau guru perihal kisah di kerajaan Demak disaat Sultan Demak III berkuasa. Tersebutlah kisah nama seorang bernama Dadung Awuk dari desa Pingit wilayah Kedu. Ia bermaksud melamar menjadi prajurit tamtama di Demak. Maka bertemulah Dadung Awuk dengan pimpinan prajurit bernama Raden Jaka Tingkir. Saat Tingkir tengah memberi penjelasan kepada para prajurit, datang seorang prajurit jaga mengatakan bahwa ada orang yang ingin menghadap ingin melamar menjadi prajurit. Namanya Dadung Awuk dari desa Pingit. Pimpinan prajurit mempersilahkan menemuinya.
    Diceritakan, Dadung Awuk menyampaikan maksud tujuannya. Jaka Tingkir memperhatikan secara seksama gerak gerik pelamar. Bahkan sang pelamar sangat mengharapkan bisa diterima sebagai prajurit keraton. Jaka Tingkir akhirnya menyampaikan persyaratan yang cukup berat. “Paman Dadung Awuk harus diuji terlebih dahulu” demikian kata pimpinan prajurit. Dengan gagahnya, Dadung Awuk akan menyanggupi persyaratan itu meski syaratnya cukup berat.
    “Maaf, Raden. Hamba ini bila sehari saja badan tidak ditusuk-tusuk keris, dipedang, ditombak seluruh badan rasanya pegal pegal, tulang tulang rsanya dilepasi satu demi satu” demikian sumbar dari pelamar.
    Mendengar ucapan Dadung Awuk, Jaka Tingkir merasa panas hatinya. Untuk menahan emosinya ia berpura pura mengunyah daun sirih yang dilinting, sedang tangan kanan memegang sadak (alat penumbuk kinang yang terbuat dari bambu kecil). Tingkir segera mengajukan syarat setelah mengunyah sirih. Apa bila sang pelamar mampu menahan tikaman sadak, maka lamarannya sebagai prajurit akan diterima. Dadung Awuk dengan senang hati menerima ujian itu.
    Jaka Tingkir berdiri, dengan taktiknya lalu menikamkan sadak tepat di dada dadung Awuk. Dada tertembus sadak, darah muncrat, Dadung Awuk seketika roboh dan tak bernyawa lagi tanpa mengaduh rasa sakit. Tingkir segera memerintahkan para prajurit untuk menusuk-nusuk sekujur tubuh mayat Dadung Awuk kemudian bangkainya dibuang di kali Demak.
    Tesiarlah kabar disegenap wilayah Demak, bahwa Tingkir membunuh orang yang hendak melamar prajurit. Kabar itupun sampai ditelinga baginda Sultan Demak III. Betapa murkanya sang Sultan, maka dipanggillah patih Wana Salam untuk mencocokkan kebenaran tersebut. Dibenarkan oleh patih. Bahkan patih menyampaikan pembelaan kepada Sultan, bahwa ananda (Tingkir) hanya menanggapi kesombongan pelamar. Sultan yang memegang tampuk pemerintahan berusaha untuk berlaku bijak dan adil. Maka kepada siapapun yang bersalah harus dihukum, termasuk anak atupun kerabat. Akan tetapi pembelaan patih tidak diterima dihadapan Sultan. Sultan tetap menegakkan hukum di pemerintahannya. “Sebagai hukuman, Tingkir kuusir dari Demak. Dan ahli waris kuberi tanda bela sungkawa” Kata baginda Sultan.
    Patih menjalankan titah Sultan. Maka setelah menemui Tingkir, diceritakanlah semua yang terjadi, saat dirinya dipanggil Sultan. Pembelaannya tidak ditanggapi, justru hukuman dijatuhkajn pada pelaku. Maka hari itu juga, Tingkir meninggalkan Demak dengan penuh penyesalan. Banyak prajurit menangisi kepergian Tingkir. Dalam perjalanan, rasanya Tingkir ingin menempuh jalan kematian akibat penyesalan yang dibuatnya. Saat perjalanan menuju arah tenggara pikirannya kacau tak menentu, penyesalan dan penyesalan yang ia rasakan. Maka akhirnya sampailah ia di hutan jati setelah kurang lebih lima bulan lamanya. Bertemulah ia dengan Ki Ageng Butuh. Ki Ageng Butuh merasa terkejut melihat wajah Tingkir, yang dilihatnya mirip sekali dengan kakaknya di Pengging yang telah meninggal. Mengakulah Tingkir, menurut kabar orang, dirinya memang anak dari Ki Ageng Kebo Kenanga di Pengging. Ki Ageng merasa bertemu dengan darah dagingnya. Dipeluklah Tingkir penuh keharuan sekaigus penuh kasih sayang. Maka Tingkir bercerita panjang lebar, dari awal hingga akhir perihal kisah kepergiannya dari Demak. Ki Ageng Butuh segera mengajak pulang ke desa Butuh.
    Dari kisah  sang murid bertanya, apa yang termaksud kisah demikian, dan mengapa Ki Ageng Butuh sampai mengajak ke desa Butuh ?. Sang dwija segera menceritakan kisah kiasan tersebut. Bahwasannya, kisah Tingkir yang membunuh Dadung Awuk dari Pingit wilayah Kedu merupakan lambang belaka. Ia sebenarnya tidak benar benar membunuh orang bernama Dadung Awuk. Yang imaksud dengan Dadung  artinya adalah rintangan dan Awuk artinya tiada atau tanpa. Sedang pingit artinya dikurung, maksudnya adalah hal yang dilarang. Kedu berarti bersungguh sungguh, jadi maksud selengkapnya adalah: barang yang benar-benar dikurung tetapi tanpa terhalang.
    Justru murid semakin tak paham maksud sang guru. Maka sang guru segera meceritakan secara detail. Tingkir itu prajurit yang tersayangi oleh Sultan karena telah banyak berjasa serta mendapat kepercayaan penuh, sehinggga diijinkan siang malam memauki datulaya atau keputren. Padahal datulaya adalah tempat pingitan sang pembayun (putri perempuan pertamanya) yang selalu jumpa dengan Tingkir. Keduanya berkasih-kasihan, karena masing-masing tampan dan cantik, sehingga banyak abdi dalem dan banyak kerabat keraton yang mengetahuinya. Maka suatu ketika, Sultan mengetahuinya, maka Tingkir diusir dari istana Demak. Hal demikian bukan karena membunuh Dadung Awuk, itulah yang namanya kiasan” demikian dikatakan sang dwija.
    Murid baru memahami setelah sang guru menjelaskan kiasan yang terjadi pada kisah Tingkir dan  Dadung Awuk. Itulah sebabnya, sang pujangga harus menjaga dan menyimpan rahasia raja, sehingga hanya disampaikan secara lambang atau kiasan.
                       

Posting Komentar

1 Komentar