Terbaru

6/recent/ticker-posts

Contoh PTK Matematika SMP: UPAYA PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR MELALUI PENDEKATAN PROBLEM POSING PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA



ABSTRAK
PROSES Pembelajaran Matematika pada umumnya hanya menekankan pada pencapaian kurikulum dan penyampaian tekstual semata daripada mengembangkan kemampuan belajar dan membangun individu. Akibatnya, nilai-nilai yang diperoleh siswa kurang dari 5 dengan daya serap kurang dari 60%. Guru merasa prihatin dan ingin memperbaiki keadaan tersebut dengan mencobakan suatu model pembelajaran yang belum pernah dicobakan khususnya di SLTPN 8 Bandar Lampung, yaitu problem posing/ menyusun soal. Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:Pertama, guru menjelaskan konsep secara klasikal pada saat siswa menyusun soal, baik dari pernyataan maupun pengembangan dari soal yang diberikan. Kedua, pada siklus pertama siswa menyusun dan menjawab soal secara individu, siklus kedua siswa menyusun soal, kemudian dijawab secara silangdengan teman sebangku, dan siklus ketiga siswa menyusun soal secara kelompok lalu dijawab secara silang antar kelompok. Setelah tiga siklus dilaksanakan, terdapat peningkatan aktivitas belajar, nilai rata-rata, dan daya serap siswa. Di samping itu, problem posing juga dapat melatih siswa berpikir kritis, logis, dan sistimatis.


PENDAHULUAN
Pelaksanaan pembelajaran didalam kelas merupakan salah satu tugas utama guru, dan pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa. Dalam proses pembelajaran masih sering ditemui adanya kecenderungan meminimalkan keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan kecendurungan siswa lebih bersifat pasif sehingga mereka lebih banyak menunggu sajian guru daripada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, ketrampilan atau sikap yang mereka butuhkan.
Selama ini proses pembelajaran matematika yang ditemui masih secara konvensional, seperti ekspositori, drill atau bahkan ceramah. Proses ini hanya menekankan pada pencapaian tuntutan kurikulum dan penyampaian tekstual semata darii pada mengembangkan kemampuan belajar dan membangun individu.Kondisi seperti ini tidak akan menumbuh kembangkan aspek kemampuan dan aktivitas siswa seperti yang diharapkan. Akibatnya nilai-nilai yang didapat tidak seperti yang diharapkan.Misalnya sering guru kecewa melihat hasil ulangan harian yang hanya mendapat daya serap kurang dari 60% atau nilai rata-rata kelas kurang dari 5. Kadang-kadang guru merasa prihatin dan ingin memperbaiki keadaan tersebut dengan mencobakan suatu pembelajaran yang belum pernah dilaksanakan, yaitu pendekatan pembelajaran yang akan membuat siswa dapat belajar aktif.
Yang dimaksud belajar aktif adalah belajar dimana siswa lebih berpartisipasi aktif sehingga kegiatan siswa dalam belajar jauh lebih dominan dari pada kegiatan guru dalam mengajar.
”Beberapa model pembelajaran aktif adalah pembelajaran dengan metode penemuan, pembelajaran dengan menggunakan soal-soal terbuka, dan pembelajaran melalui atau menggunakan pemecahan masalah” (PPPG Matematika Yogyakarta, 1998)
Dari pendapat di atas terlihat bahwa banyak model pembelajaran yang dapat dilaksanakan di dalam kelas untuk mengaktifkan siswa belajar, antara lain pembelajaran dengan menggunakan soal-soal. Hal ini dapat dibuat oleh guru atau oleh siswa sendiri, kemudian soal tersebut diselesaikan oleh siswa yang membuat soal tersebut atau oleh siswa lain.
Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris sebagai padanan katanya digunakan istilah ”pembentukan soal” (Suyanto : 1998). Pembentukan soal atau pembentukan masalah mencakup dua macam kegiatan, yaitu : (1) pembentukan soal baru atau pembentukan soal dari situasi atau dari pengalaman siswa , dan (2) pembentukan soal lain yang sudah ada.
Suyanto mengemukakan bahwa : ”Arti dari pembentukan soal ialah perumusan soal atau mengerjakan dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah pemecahan masalah”. (Suyanto;999 :8)
Pembelajaran matematika dengan pendekatan yang efektif karena kegiatan problem posing merupakan suatu pendekatan yang efektif karena kegiatan problem posing itu sesuai dengan pola pikir matematis dalam arti : (1) Pengembangan matematika sering terjadi dari problem posing, (2) Problem posing merupakan salah satu tahap dalam berpikir matematis.
”Dalam problem posing, relasi yang dihidupkan bukanlah monolog, melainkan dialog. Dalam relasi dialogis ini, para murid tidak diperlakukan sebagai objek, dan guru tidak diakui sebagai satu-satunya subyek. Keduanya memiliki posisi yang sejajar. Guru hanya berperan sebagai pemandu atau fasilitator. (Paula Friere; 1975; dalam Kasdin Sihotang; 1997).
Menurut Asosiasi Guru-Guru matematika di Amerika Serikat, yaitu National Council for Teachers of Mathematics (NCTM) yang dikutip Abdur Rahman As’Ari dalam pelangi Pendidikan Volume 2 No.2 tahun 1999/2000 bahwa problem :”problem posing (membuat soal ) merupakan ’the heart of doing mathematics’, inti dari bermatematika”. Sehingga NCTM merekomendasikan agar para siswa diberi kesempatan yang sebesar-besarnya untuk mengalami membuat soal sendiri (problem posing).
”Salah satu rekomendasi mutahir dari pakar pendidikan matematika dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran matematika adalah problem posing”. (Abdur Rahman As’ari;2000:42).
Pendapat di atas memperlihatkan bahwa pembelajaran matematika dengan problem posing dapat meningkatkan mutu pembelajaran itu sendiri dan dapat meningktkan keaktifan siswa dalam belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Roeth Amerlin terhadap siswa sekolah dasar negeri II kecamatan Tomolon Kabupaten Minahasa merekomendasikan bahwa :
”Kemampuan problem posing siswa menunjukan adanya kemampuan berpikir kreatif dan kritis siswa. Oleh karena kepada para ahli pengembangan pendidikan dasar khususnya guru sekolah dasar hendaknya menerapkan pembelajaran denga pendekatan problem posing”. (Roeth Amerlin; 1999:91).
Dari uaraian di atas jelas bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing akan sangat bermanfa’at, karena dapat meningkatkan kemampuan berfikir kreatif dan kritis dari siswa. Ini termasuk kelebihan dari pembelajaran melalui pendekatan problem posing. Sedangkan kelemahannya Roeth Amerlin menemukan bahwa :
”Siswa yang berkemampuan rendah tidak dapat menyelesaikan semua soal yang dibuatnya. Demikian juga dalam menyelesaikan soal-soal yang dibuat oleh teman yang memiliki kemampuan problem posing yang lebih tinggi”. (Roeth Amerlin; 1999 : 91).
”Apakah dengan menggunakan pendekatan problem posing dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas III SLTP 8 Bandar Lampung”.

TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
Tujuan Umum
Agar siswa dapat berfikir kritis, kreatif, cermat, percaya diri, inovatif, dan dapat mencari solusi yang paling tepat dalam masalah yang dihadapi.
Tujuan Khusus
(1) Untuk mengetahui apakah pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas III.
(2) Meningkatkan prestasi belajar siswa.

MANFAAT PENELITIAN
Penelitian Tindakan Kelas ini diharapkan akan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
(1) Untuk siswa
- Melatih siswa agar mampu memahami soal-soal matematika yang tersedia, kemudian mengembang-kannya menjadi soal-soal lain sebagai dasar pemahaman konsep yang diberikan.
- Melatih siawa agar tanggap terhadap informasi dan situasi yang terjadi, kemudian mengkaitkannya dengan kondisi lain sehingga menjadi bermakna.
- Melatih siswa untuk berfikir kritis, kreatif dan inovatif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
(2) Untuk guru
-Dapat memberi sumbangan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran Matematika.
-Sebagai informasi bagi guru-guru matematika, khususnya guru matematika SLTP mengenai pembelajaran dengan menggunakan problem posing.
(3) Untuk lembaga:
-Diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas sekolah

METODE PENELITIAN
Setting dan Karakteristik Subyek Penelitian.
Penelitian dilaksanakan dikelas IIIC SLTP Negeri 8 Bandar Lampung. Kelas IIIC ini terdiri 43 orang siswa (18 orang siswa laki-laki dan 25 orang siswa perempuan). Di samping itu, penelitian ini juga berkolaborasi dengan 3 orang matematika paralel.
Realisasi Rencana Penelitian
Siklus I
-Rencana Tindakan
Pada pertemuan mingguan dibuat rencana-rencana berikut: Guru merencanakan pembelajaran yang akan dilaksanakan dengan membuat rencana pelajaran, membuat pernyataan-pernyataan disesuaikan dengan membuat rencana pelajaran, menyusun soal ulangan harian I, menyusun angket dan lembar observasi, serta menyusun jadwal kolaborasi.
-Pelaksanaan tindakan
Guru menjelaskan materi sesuai rencana pelajaran, dan mensosialisasikan pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing. Pada saat penerapan, guru memberikan contoh-contoh cara menyusun soal, baik dari soal contoh yang dikembangkan menjadi soal lain, atau dari pernyataan yang disediakan. Siswa menyusun soal secara individu sesuai dengan contoh soal yang diberikan guru atau pernyataan yang tersedia kemudian menyelesaikan sendiri.
Guru berkeliling membimbing, mengawai dan langsung menilai apakah soal yang dibuat siswa benar atau salah. Soal-soal yang menarik dibahas secara klasikal. Pada akhir pokok bahasan diadakan ulangan harian I, Akhir siklus I diberikan angket ke 1.
-Observasi
Observasi dilaksanakan selain oleh guru kelas juga oleh guru kolaborator.


-Refleksi
Pada akhir siklus diadakan refleksi terhadap hasil-hasil yang diperoleh baik dari hasil angket, catatan guru dan pengamatan kolaborator.
Siklus II
-Rencana tindakan
Pada siklus II direncanakan melanjutkan program siklus, dengan penambahan tindakan yaitu pada cara menjawab pertanyaan. Kalau pada siklus I siswa menyusun soal dan menjawabnya sendiri, pada siklus II siswa menyusun soal kemudian dijawab oleh siswa lain.
-Pelaksanaaan tindakan
Guru tetap menjelaskan konsep secara klasikal. Setelah diberi pernyataan atau contoh soal, siswa menyusun soal dari pernyataan atau soal yang tersedia dikembangkan menjadi soal-soal lain. Guru pembimbing akan menilai pekerjaan siswa. Soal-soal yang dianggap baik oleh guru, dibahas secara klasikal. Ulangan harian ke 2 diberikan pada akhir pokok bahasan. Siswa diberi PR tidak menyusun soal sendiri, melainkan dibuku paket. Angket diberikan pada akhir siklus II.
-Observasi
Seperti pada siklus I, observasi dilakukan selesai guru yang mengajar mencatat semua temuan dan bahan yang terjadi pada siswa, guru kolaborasi mengamati keseluruhan proses pembelajaran.
-Refleksi
Dilakukan pada akhir siklus II dengan melihat catatan guru, hasil observasi kolaborator dan hasil angket. Refleksi dilakukan meliputi refleksi siklus I dan siklus II.
Siklus III
-Rencana tindakan
Pada siklus III direncanakan melanjutkan siklus II, dengan penambahan bahwa siswa menyusun soal secara kelompok, kemudian diselesaikan atau dijawab oleh kelompok lain yang berdekatan.
-Pelaksanaan tindakan
Tindakan di siklus III pada dasarnya sama dengan siklus II, hanya ada penambahan bahwa guru membagi siswa atas kelompok kecil yang terdiri dari 2 orang teman sebangku. Pada saat penerapan siswa menyusun soal secara kelompok, kemudian dijawab secara silang oleh kelompok lain yang berdekatan.
-Observasi
Seperti pada silus II observasi dilakukan oleh guru yang mengajar yaitu mencatat semua temuan dan perubahan yang terjadi pada siswa, guru kolaborasi mengamati keseluruhan proses pembelajaran sesuai daftar pengamatan yang telah disiapkan.
-Refleksi
Refleksi yang dilakukan meliputi seluruh kegiatan penelitian ini yaitu siklus I,II, dan III. Kemudian data angket dianalisis secara deskripsi, sedangkan hasil ulangan harian dianalisis dengan menggunakan cara analisis hasil ulangan harian dan pencapaian daya serap hasil belajar dari Depdiknas.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan pada caturwulan 1 tahun pelajaran 2000/2001 termasuk persiapan dan pelaporan, secara rinci terbagi dalam 3 tahap,yaitu : masa persiapan selama dua pekan, masa pelaksanaan selama enam pekan, masa pelaporan selama dua pekan. Sedangkan masa Classroom Action Research di bagi tiga siklus di ambil berdasarkan tentang waktu dua pekan. Setiap siklus terbagi dalam 2 sub siklus, berarti tiap sub siklus mempunyai rentang waktu 1 pekan atau 6 jam pelajaran. Penelitian ini juga berkolaborasi dengan guru-guru yang mengajar bidang studi matematika pada kelas-kelas paralel. Pertemuan dengan guru-guru kolabolator dilaksanakan satu kali tiap tiap minggu, yaitu hari selasa karena hari selasa semua guru matematika tidak ada jam mengajar, dan hari itu adalah hari MGMP Matematika di Bandar Lampung. Hasil observasi atau temuan-temuan, baik hasil wawancara, angket, dan catatan guru dibicarakan pada pertemuan mingguan .
Hasil-hasil penelitian pada tiap siklus dapat diinterprestasikan sebagai berikut.
Hasil penelitian siklus I
Pada awal siklus I siwa masih bingung, belum memahami bagaimana cara menyusun soal, yang tersusun hampir seluruhnya mirip contoh, hanya berbeda bilangan. Guru dirasakan sangat sibuk, karena harus memeriksa pekerjaan siswa satu – persatu. Dari 43 siswa dalam satu kelas, maka ada 43 soal yang berbeda harus dikoreksi ditambah jawabannya dan guru segera mencari strategi untuk mengatasi hal ini. Karena setiap siswa menuntut soal yang dibuatnya harus diperiksa, dan siswa belum terbiasa membuat soal yang dibuatnya harus diperiksa, dan siswa membuat soal, mengakibatkan waktu seolah-olah dipaksa untuk berfikir, antara lain dalam menentukan bilangan-bilangan yang akan dipergunakan harus terencana dengan baik sebelum dirakit menjadi sebuah soal. Dalam hal ini guru melihat ada pengaruh positif terhadap cara berfikir siswa. Pada akhir siklus I siswa sudah lebih memahami cara menyusun soal, siswa sudah mulai senang belajar matematika dengan menyusun soal sendiri sehingga pada saat latihan atau pemberian PR siswa meminta untuk buat soal sendiri. Hasil ulangan harian I belum menunjukan angka yang mengembirakan yaitu rata-rata kelas 5,61 sedangkan daya serap klasikal hanya mencapai 37,2%.
Hasil siklus II
Pada siklus II siswa sudah aktif menyusun soal sendiri, hal ini dapat dilihat dari keseriusan siswa dalam menyusun/ menjawab soal. Kelas AR adalah kelas yang heterogen, sehingga kemampuan siswa tidak sama pada saat siswa menyusun soal dimana siswa yang pandai dapat menyusun soal lebih cepat dari temannya, siswa membuat kunci jawaban dan menyusun soal berikutnya,
Pada akhir siklus II terlihat adanya aktifitas siswa ke arah yang positif. Karena soal dijawab oleh teman lain, maka disini terjadi interaksi terhadap siswa yang akan menjawab soal. Apabila siswa yang akan menjawab soal tidak memahami dari maksud dari soal yang dibuat temannya, maka pembuat soal harus menjelaskan, termasuk membimbing dan kemudian memeriksa kebenaran hasilnya. Disinilah interaksi terjadi antar siswa. Bila komunikasi antar siswa macet, maka guru segera konsolidasi, membimbing dan mengarahkan pekerjaan siswa. Dari hasil angket ke 2 yang disebar pada akhir siklus 2 terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa, yaitu antara lain dapat dilihat hasilnya sebagai berikut :
Siswa yang sangat senang menyusun soal sendiri pada siklus I sebanyak 29.30% pada siklus II 38,46%. Terjadi penurunan 9,16%, sedangkan yang senang, persentasenya cukup tinggi yaitu 46,30% menjadi 48,72%. Siswa yang mengatakan bahwa pembelajaran dengan problem posing membuat menjadi mengerti pada siklus I 95,10%dan pada silus II 97,60% angka ini cukup tinggi, walaupun sisanya menyatakan bahwa pembelajaran seperti ini membuat siswa menjadi bingung. Siswa yang selalu mengerjakan soal-soal latiha nterdapat peningkatan dari 73,20% menjadi 79,49%, sedangkan yang sering menurun dari 17,1% menjadi 15,38% dan yang kadang- kadang melaksanakan masih ada yaitu dari 9,7% menjadi 5,13%. Siswa yang selalu tepat waktu dalam mengerjakan soal pada siklus I sebanyak 22,0%, pada siklus II 23,0%. Walaupun masih ada yang menjawab kadang-kadang tapi yang sering tepat waktu cukup banyak yaitu 46,30% menjadi 61,54%. Bila mendapat kesulitan, siswa yang berusaha sendiri meningkat 17,08% menjadi 23,09%, yang berusaha dengan meminta bantuan teman juga meningkat dari 41,46% menjadi 43,58%, sedangkan yang meminta bantuan guru menurun dari 41,46% menjadi 33,33% . Hasil ulangan harian kedua rata-rata 6,22% sedangkan daya serapnya 60,47%.

Hasil siklus III
Pada akhir siklus III banyak perubahan positif yang diperoleh, yaitu siswa sudah terbiasa menyusun dan menyelesaikan soal, menjawab soal sendiri, secara silang dengan teman sebangku, atau secara silang antar kelompok. Guru melihat interaksi antar siswa, ada persaingan sehinnga pada saat membuat soal ada keingin sial yang dibuatnya sulit dan prang lain tidak bisa menjawabnya. Ia merasa bangga bila hal ini terjadi, apabila pada saat guru meminta dia agar menjelaskan soal tersebut kepada teman yang akan menjawab. Demikian juga sebaliknya bila yang menjawab soal dapat dengan mudah menyelesaikan soal yang dibuat kelompok lain. Jadi siswa selalu berusaha lebih aktif, berfikir secara cermat dan sistematis. Pada saat siswa menyusun soal secara kelompok, interaksi antar siswa terjadi, disini dua orang siswa saling melengkapi untuk mendapatkan soal yang benar. Demikian pula saat menjawab soal, interaksi terjadi selain antar siswa dalam satu kelompok juga antar kelompok.

PEMBAHASAN
Dari hasil angket ke 1,2, dan 3 didapat bahwa siswa yang menyatakan sangat senang belajar dengan problem posing meningkat 9,7% yaitu dari 29,3% menjadi 39,0%, yang senang meningkat 9,8% yaitu dari 46,3% menjadi 56,1%, sedangkan yang biasa-biasa saja menurun 19,5% yaitu dari 24,4% ke 4,9%. Siswa yang menyatakan problem posing membuat menjadi mengerti sangat mendominasi yaitu pada siklus I 95,1%, siklus II 97,6% dan siklus III 97,6% walaupun sisanya menyatakan bahwa pembelajaran problem posing membuat menjadi bingung.
Keaktifan belajar siswa juga ditandai oleh adanya interaksi saat pembelajaran berlangsung. Ini terlihat dari siswa yang berusaha sendiri saat menemui kesulitan dalam menyusun dan atau menjawab soal meningkat 6,59% dari 17,08% menjadi 24,39%, yang meminta bantuan teman meningkat 17,08% yaitu dari 41,46% menjadi 58,54%, sedangkan yang meminta bantuan guru dari 41,46% menjadi 17,07%. Jadi terdapat penurunan 24,39%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tidak tergantung kepada guru, justru dapat berinteraksi antara siswa yang satu dengan yan lain, baik dengan teman kelompok maupun antar kelompok.
Perubahan positif lain yang ditemui adalah bahwa pada awal siklus siswa yang PR-nya lebih sering dikerjakan di rumah (kadang-kadang di sekolah pagi hari) menurun dari 56,5% menjadi 24,4%, sedangkan yang selalu mengerjakan PR di rumah dari 24,4% menjadi 73,2%. Terjadi peningkatan yang cukup tinggi yaitu 48,8%. Suatu perubahan yang menggembirakan dalam perilaku siswa menghadapi pelajaran. Peningkatan rata-rata nilai hasil ulangan harian dan daya serap pembelajaran (dalam persen) dapat dilihat pada tabel berikut:
No. Aspek UH 1 UH 2 UH 3
1. Rata-rata kelas 5,16 6,22 6,65
2. Daya serap 37,2 60,47 69.77

KETERBATASAN PENELITIAN
Ada pengalaman menarik pada siklus ini, yaitu pada saat guru memberikan PR menyuruh siswa untuk membuat soal masing-masing 2 buah, dan karena siswa belum terbiasa membuat soal, keesokan harinya guru kehabisan waktu karena harus memeriksa 86 soal yang berbeda, sekaligus jawabannya. Untuk mengatasi hal ini soal-soal PR diberikan dari buku paket. Pada siklus II siswa menyusun soal dan dijawab oleh teman sebangku, dan bagi siswa yang kemampuannya lebih tinggi ia dapat menyusun soal lebih cepat dari temannya sehingga soal tersebut belum bisa dijawab oleh temannya. Guru meminta kepada siswa tersebut untuk membuat soal berikutnya. Demikian juga pada siklus III bila kelompok yang berdekatan kemampuannya tidak sama, soal tidak dapat dijawab secara silang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
-Pendekatan problem posing pada pembelajaran matematika dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas III SLTP dan melatih cara berfikir siswa yang lebih sistematis.
-Peningkatan aktivitas belajar siswa tersebut dibuktikan dengan meningkatnya perolehan nilai rata-rata ulangan harian yaitu pada siklus I 5,16%, siklus II 6,22% dan siklus III 6,65%, dan daya serap pembelajaran pada siklus I 37,20%, siklus II 60,47% dan siklus III 69,77%.
Saran
-Perlu di upayakan peningkatan cara berfikir sistimatis pada diri siswa sejalan dengan meningkatnyaaktivitas belajar siswa dan perolehan nilai hasil belajar.
-Pendidikan melalui pendekatan Problem Posing pada pembelajaran matematika di SLTP merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Amerlin, R. (1999). Analisis problem posing siswa sekolah dasar negeri II kecamatan Minahasa pada konsep operasi hitung bilangan cacah (Tesis). Malang:IKIP Malang.
As’ari,A.(2000). Pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing. Pelangi pendidikan, 2, 22 – 26.
Dimyati dan Mudjiono. (1994). Belajar dan pembelajaran. Jakarta : Depdikbud.
Suryanto (1998) Pembentukan soal dalam pembelajaran matematika. Malang:IKIP Malang.
Sihotang, K. (1999). Pembelajaran matematika yang aktif efektif. Yogyakarta : PPPG Matematika.
Sutiorso, S Pengaruh pembelajaran dengan pendekatan problem posing terhadap hasil Belajar aritmetika siswa kelas II SMPN 18 Malang. Malang : PPS IKIP Malang, (Tesis Tidak Diterbitkan).
Ruseffendi, E . T (1980). Pengajaran matematika modern. Bandung Tarsito.

Posting Komentar

0 Komentar