Terbaru

6/recent/ticker-posts

INOVASI PENDIDIKAN DAN PERAN GURU

 Oleh: Dr. Uhar Suharsaputra
Purek 1 Universitas Kuningan (Uniku) dan Anggota ISPI
Dewasa ini, nampak sekali bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat telah menjadikan pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang dipercaya dan diandalkan dalam mempersiapkan manusia yang siap dan mampu menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat. Oleh karena itu Pendidikan sebagai suatu bagian dari kehidupan masyarakat tidak bisa tidak mesti menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, serta menyikapinya dengan proaktif dan inovatif, sebab jika tidak demikian maka upaya mempersiapkan manusia dalam menghadapi perubahan tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik.
Kondisi demikian pada dasarnya sebagai akibat dari karakteristik pendidikan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang tak bisa mengisolasi diri dari pengaruh lingkungan, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun lingkungan global. Pendidikan merupakan upaya untuk mempersiapkan manusia hidup di masyarakat, untuk itu berbagai perubahan harus diperhatikan dan diantisipasi melalui upaya memperbaiki proses pendidikan dan pembelajaran, sehingga outputnya bisa dan mampu serta kompetitif dalam menghadapi berbagai hal yang terjadi dalam proses perubahan di masyarakat, dan untuk itu pendidikan harus dapat mengembangkan respon yang kreatif dan inovatif sejalan dengan pernyataan Suyanto (Kompas, 16 Mei 2001) :
”Untuk menciptakan unggulan kompetitif, kita memerlukan inovasi yang pesat dalam dunia pendidikan. Menjadi bangsa yang berharkat memerlukan unggulan kompetitif dalam berbagai bidang. Bukan jamannya lagi kita mengandalkan murahnya tenaga kerja untuk mendukung dan pembenar konsep unggulan kompetitif. Dalam konteks untuk menciptakan unggulan kompetitif outcome pendidikan, patut kiranya kita mengkaji pendapat Michael Porter dalam ungkapannya: …the ability to sustain an advantage from cheap labor or even from economies of scale-these are the old paradigms. These paradigms are being superseded. Today, the only way to have an advantage is through innovation and upgrading”.
Oleh karena itu, bagi dunia pendidikan adalah suatu keharusan untuk selalu mencermati perubahan-perubahan yang terjadi agar dapat direspon dengan cerdas dalam rangka meningkatkan Kualitas Pembelajaran. Dalam hubungan ini Inovasi Pendidikan menjadi semakin penting untuk terus dikaji, diaplikasikan dan dikomunikasikan pada seluruh unsur yang terlibat dalam pendidikan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap inovatif di lingkungan pendidikan, karena tanpa inovasi yang signifikan, pendidikan hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak mandiri, selalu tergantung pada pihak lain, untuk itu pendidikan harus digunakan sebagai inovasi nasional bagi pencapaian dan peningkatan kualitas outcome secara berkelanjutan dan tersistem agar unggulan kompetitif selalu dapat dipertahankan (Suyanto, Kompas, 16 Mei 2001).
A. Inovasi Pendidikan
Inovasi pendidikan secara sederhana dapat dimaknai sebagai inovasi dalam bidang pendidikan. Menurut Ibrahim, (1988 : 51) inovasi pendidikan ialah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil invensi atau discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau memecahkan masalah pendidikan. Dengan demikian inovasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan/pembelajaran, ini berarti bahwa inovasi apapun yang tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan/pembelajaran tidak patut untuk diadopsi, dan dalam konteks ini peran guru akan sangat menentukan dalam adopsi inovasi pada proses pendidikan/pembelajaran Oleh karena itu dalam menyikapi suatu inovasi, diperlukan suatu pemahaman yang baik tentang substansi inovasinya itu sendiri, hal ini dimaksudkan agar inovasi dapat benar-benar memberi nilai tambah bagi kehidupan.
Dengan mengingat hal tersebut, maka dunia pendidikan sebagai suatu sub sistem kehidupan masyarakat perlu menyikapi dengan terbuka berbagai inovasi yang ada dalam dunia pendidikan, maupun yang terjadi dalam bidang kehidupan lainnya untuk berupaya mengintegrasikannya agar dapat dicapai suatu kondisi pendidikan yang tidak tertinggal dengan perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat akumulasi inovasi.
Namun demikian situasi di dunia pendidikan seperti sekolah, menurut penelitian Kim E. Dooley (Jurnal Educational Technology & Society 2(4) 1999.www.careo.org) cenderung sulit/lambat berubah seperti terlihat dari pernyataan berikut :
“The past three decades have been characterized by extreme sosial, political, economic, and technological changes; but schools have not changed their basic organizational structure. Recognition that the curriculum and methodology of the past are unsuited for today’s world has prompted a call for a restructuring of education. We are currently in the “third wave” era (Toffler, 1981), the post-industrial information age in which change continuously takes place at all levels of society”.
kesulitan atau kelambatan berubah telah menjadikan dunia pendidikan banyak tertinggal dari perkembangan yang terjadi dalam bidang kehidupan lainnya seperti dunia bisnis, dimana inovasi telah menjadi nyawa yang menentukan bagi kehidupan bisnis, kajian-kajian tentang inovasi di bidang pendidikan banyak dilakukan, meskipun kontribusinya pada pemahaman teoritis tentang difusi inovasi tidak begitu penting, hal ini tidak lain karena sebagian besar keputusan inovasi bersifat kolektif dan berdasarkan otoritas, dan kurang dilakukan secara individual (optional innovation decision) (Rogers, 1983:62).
Menurut House (1974) dalam proses penyebaran inovasi, kontak personal mempunyai kedudukan yang penting dalam difusi atau komunikasi inovasi, Kontak personal is essential to the propagation of innovation. Lebih jauh House membagi inovasi ke dalam dua jenis dengan masing-masing mempunyai kelompok pemerannya sendiri-sendiri yaitu :
1. Household innovation. Inovasi Rumah tangga (household) merupakan inovasi individu, seperti inovasi guru di kelas, dan bisaanya tersebar dari individu ke individu.
2. Entrepeneurial innovation. Inovasi entrepreneur adalah inovasi yang mempunyai akibat langsung bagi orang lain diluar adopter nya.
lebih jauh House (1974) menyatakan bahwa praktisi Pendidikan dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu 1) Administrator (Principal/kepala sekolah dan Superintendent/pengawas), dan 2) Teacher. Dalam hal penerimaan atau sikap terhadap perubahan dan inovasi dua kelompok ini mempunyai pandangan dan sikap yang tidak selalu sama, karena peran yang dimainkan dalam melaksanakan kegiatan pendidikan berbeda dan lingkungan kerja yang sering dijalani masing-masing juga berbeda. Administrator (Kepala dan Pengawas) lebih mudah menerima inovasi dibanding guru, inovasi oleh administrator merupakan inovasi entrepreneur, sedang inovasi oleh Guru adalah inovasi household. Lebih mudahnya inovasi oleh Administrator dibanding oleh Guru dikarenakan hal-hal berikut (House, 1974) :
1. Sosial interaction inhibit diffusion across professional boundaries
2. Teacher remain isolated in classroom which does not enhance the diffusion of new idea within the profession
3. Never adopt innovation as a whole, only bits and pieces
4. Passive adopter
Sulitnya inovasi yang dilakukan oleh guru yang bergerak di tataran teknis, jelas akan memberi pengaruh pada efektivitas pembaharuan/inovasi pendidikan dalam berbagai tingkatannya, baik tataran institusi maupun tataran manajerial. Oleh karena itu kebijakan inovasi pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan perlu mencermati kondisi ini, artinya dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas profesionalisme Pendidik/guru perlu terintegrasi dengan upaya melakukan reformasi pada tataran institusi dan manajerial, sehingga terjadi suatu interaksi yang kondusif bagi tumbuhnya kreativitas, kinerja inovatif yang terlembagakan dalam suatu organisasi sekolah, ini berarti diperlukan upaya untuk melakukan restrukturisasi sekolah yang dapat menciptakan organisasi sekolah yang selalu antisipatif dan terbuka pada perubahan, menurut Kim E. Dooley (Jurnal Educational Technology & Society 2(4) 1999, www.careo.org)
“Restructuring our schools involves deep and profound changes in the way the schools function. Restructuring defines what goes on within classrooms–rethinking the way teachers teach, the way students learn, and the way we assess them. Restructuring also involves a change in the way schools are organized. Such reorganization requires redefining the roles of teachers, administrators, parents, and students in the governance and management of schools”
esensi dari restrukturisasi pada kelembagaan sekolah adalah kesiapannya untuk berubah, dengan perubahan tersebut fungsi sekolah juga akan berubah yang berakibat pada perubahan dalam pembelajaran serta pengorganisasian sekolah. Kegiatan tersebut pada dasarnya merupakan suatu proses dan bukan suatu kejadian, sehingga diperlukan upaya yang terus menerus untuk menilai berbagai perubahan yang telah terjadi agar tetap adaptif terhadap tuntutan perubahan yang terjadi di masyarakat, serta berbagai inovasi yang terus berakumulasi yang perlu mendapat perhatian dari Lembaga Pendidikan, Hall dalam Kim E Dooley (Jurnal Educational Technology & Society 2(4) 1999, www.careo.org) menyatakan :
“Change is a process rather than an event and should be examined by the various motivations, perceptions, attitudes, and feelings experienced by individuals in relation to change. Change entails an unfolding of experience and a gradual development of skill and sophistication in use of an innovation. An individual’s concerns can move in developmental progression from those typical of non-users of an innovation to those associated with fairly sophisticated use.
Perubahan dalam kontek proses memerlukan motivasi, persepsi, sikap dan perasaaan yang positif terhadap perubahan, sehingga inovasi yang berkembang dapat menjadikan organisasi terus tumbuh dan berkembang dengan dukungan sumberdaya manusia yang sensitive dan tanggap terhadap perubahan dengan dukungan manajemen organisasi yang mendorong pada tumbuh dan berkembangnya pembelajaran dalam organisasi (Learning Organization).
Menurut Deal, Meyer&Scott (www.careo.org,1975) banyak hasil peneliti yang menyimpulkan bahwa karakteristik struktur organisasi atau lingkungan sekolah berkaitan dengan adopsi inovasi
“These studies revealed that the school districts more likely to adopt innovations were those that were wealthy, large, and had change-oriented leaders. Others have found organizational autonomy, decentralized authority, staff professionalism, and features of organizational climate such as openness, trust, and free communication to be correlates of innovative behavior”.
Dengan demikian peran organisasi sekolah dalam pengembangan inovasi amat diperlukan, organisasi sekolah yang memiliki otonomi, pengembangan profesi, iklim organisasi yang baik dapat mempengaruhi prilaku inovatif dari anggota organisasi ersebut
B. Model-model Inovasi Pendidikan.
Para pakar telah banyak yang mengemukakan tentang model inovasi sebagai kerangka dasar dalam memahami bagaimana suatu inovasi itu terjadi serta bagaimana melihat kemampuan seseorang untuk menjadi inovatif, adaptif dan kemudian menyebarkannya pada fihak lain (difusi). Mmodel-model tersebut meskipun dikembangkan dalam organisasi bisnis, namun pada dasarnya dapat diadopsi dan atau diadaptasi dalam dunia pendidikan sebagai suatu organisasi. Lara Catherine Hagenson (2001) mengelompokan model Inovasi ke dalam model Linier dan Model siklis. Model linier merupakan model yang melibatkan dimensi tunggal, dan yang termasuk dalam model ini adalah model Diffusion of Innovations dari Roger, Concerns Based Adoption Model dari Hall and Hord, serta Model of Epistemic Curiosity Speilberger and Starr
a. Model Linier
Model difusi inovasi dari Roger memandang proses keputusan adopsi atau penolakan inovasi sebagai suatu kejadian dalam suatu proses linier dimana waktu berperan sebagai variable bebas dan proses adopsi terdiri dari serangkaian tindakan dan pilihan dengan berbasiskan factor internal dalam suatu system sosial.dalam model ini orang dikelompokan berdasarkan kecepatannya dalam mengadopsi inovasi dengan lima kelompok adopter yaitu : (a) innovators, (b) early adopters, (c) early majority, (d) late majority, dan (e) laggards. Sementara itu Model dari Hall & Hord yaitu Concerns Based Adoption Model (CBAM) memandang inovasi sebagai pergeseran secara psikologis dari ciri-ciri inovasi kearah konsern pada penggunaannya. Dalam model ini pengguna inovasi bergerak dari konsern pribadi (self-concerns), selanjutnya konsern pada tugas (task-concerns) kemudian berpengaruh pada dampak konsern (impact-concerns) pada saat seseorang makin berpengalaman dengan inovasi. Tahapan-tahapan concerns ketika seseorang mengadopasi inovasi menurut Sherry, Lawyer-Brook, & Black, 1997,(dalam Lara Catherine Hagenson , 2001) mencakup :
Awareness (little concern about or involvement with the innovation);
Informational (interest in learning more details about it);
Personal (concerns about its demands and their adequacy in meeting them);
Management (processes and tasks of using the innovation);
Consequence (impact of the innovation on student outcomes);
Collaboration (coordination/cooperation with other users); and
Refocusing (altering or replacing the innovation)
Model of Epistemic Curiosity dari Speilberger & Starr menggambarkan dua proses yang terdiri dari keresahan (anxiety) dan Keingin tahuan (curiosity), semakin rendah tingkat kenyamanan pengguna inovasi, semakin kecil mereka melakukan eksperimen dengan inovasi. Model ini menurut Hagenson (2001) merupakan model valid yang mengelompokan orang berdasarkan tingkat-tingkat ketidakpastian (levels of uncertainty) dan menilai orang berdasarkan prilaku dan kemampuannya untuk mengeksplorasi hal-hal di luar platform inovatif awal
Selain model linier sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat model linier lain yaitu Model factor organisasi dan belajar (Organizational and Learning Factor Models). Model ini memandang bahwa banyak factor yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berinovasi, mengadopsi, dan malkukan difusi, dan beberapa model yang masuk dalam kategori ini adalah model analisis adopsi (adoption analysis model) dari Farquhar dan Surry (1994), dan model belajar terlibat (engaged learning model) dari Jones, Valdez, Nowakowski, & Rasmussen (1995).sebagaimana dikemukakan oleh Hagenson (2001)
Model analisis adopsi dari Farquhar dan Surry dikembangkan dengan melihat persepsi pengguna akan inovasi, semakin positif persepsi pengguna akan suatu inovasi berkaitan dengan karakteristik inovasi sebagaimana dikemukakan Rogers (yakni : relative advantage, observability, compatibility, complexity, dan trialability) semakin besar kecenderungan untuk mengadopsi inovasi. Dalam model ini peran lingkungan fisik orgnisasi dan lingkungan pendukung dalam hal ketersediaan teknologi terutama internet memegang peran penting, dan kesuksesan pelaksanaan inovasi tidak hanya memerlukan adopter yang menggunakan dan mengaplikasikan inovasi, tapi juga memerlukan organisasi yang menyediakan lingkungan yang kondusif untuk penerapan teknologi baru, mereka yang mempunyai akses lebih besar pada teknologi serta didukung oleh keterampilan akan menggunakan teknologi lebih banyak dalam melaksanakan pengajaran (untuk Guru)
Model Engaged Learning dari Jones, Valdez, Nowakowski, & Rasmussen merupakan model dengan setting lembaga pendidikan, model ini melihat inovasi dari sudut gaya belajar dan peran murid di dalam kelas. Terdapat delapan variable berkaitan dengan indicator engaged learning yaitu :
1. the teacher’s vision of learning;
2. indicators of engaged learning;
3. ongoing, authentic, performance-based assessment;
4. a constructivist instructional model responsive to student needs;
5. the concept of students as part of a learning community incorporating multiple perspectives;
6. collaborative learning;
7. the co/learner/co-investigator;
8. the roles of students as cognitive apprentices, peer mentors, and producers of products that are of real use to themselves and others (Sherry, Lawyer-Brook, & Black, 1997 dalam Hagenson, 2001).
Dalam model ini visi guru tentang pembelajaran terkait erat dengan peranannya di kelas dan persepsinya tentang hubungan kurikulum sekolah dengan standar dari pemerintah, apakah kurikulum yang ada harus diperkaya, ditingkatkan atau diganti, serta peran yang jelas dari kegiatan pembelajaran berbasis internet di kelas ((Sherry, Lawyer-Brook, & Black, 1997,dalam Hagenson, 2001)
Kedua model diatas yakni model analisis adopsi dan model engaged learning terintegasi dalam model learning/adoption trajectory yang merupakan model belajar dan keorganisasian (organizational and learning model) yang amat penting bagi dasar dan proses pembelajaran (Lara Catherine Hagenson , 2001:19).
b. Model Siklis
Model siklis ini didasarkan pada pemahaman bahwa suatu proses belajar yang sedang berjalan lebih merupakan suatu proses siklis. Suatu siklis adalah serangkaian kejadian yang terjadi secara teratur dan biasanya membawa kembali ke itik awal (Sherry, et al (2000) dalam Hagenson, 2001:21). Model siklis ini menurut Hagenson, (2001:22) lebih tepat ketimbang model linier, dan model ini digunakan untuk membuat versi baru dari model Learning/Adoption Trajectory. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat yang menjadi dasar terbentuknya model siklis yaitu pandangan Schein (1996), Senge (1990), Havelock dan Zlotolow (1997), Engestrom (1996).
Menurut Schein, dari pandangan pengguna, anggota-anggota suatu organisasi pembelajar mulai mencairkan (unfreeze) persepsi mereka pada saat mengalami suatu inovasi yang gagal memenuhi pemahaman mereka sebelumnya. Anggota organisasi kemudian melakukan perubahan dan memfokus ulang proses, dan kemudian membekukan ulang (refreeze) konsep mereka untuk mencocokan dengan pengalaman yang sedang dialami mereka. Menurut Sherry, Billig, Tavalin, & Gibson, (2000) dalam Hagenson (2001:22) model nampak lebih memfokuskan pada pengguna dan konsepsi mereka tentang membuka ide-ide untuk belajar, mengambil inovasi, dan kemudian menutupnya dengan konsepsi akan inovasi yang baru
Peter Senge merupakan pakar yang mempopulerkan konsep organisasi pembelajar (learning organization) dalam bukunya The Fifth Disciplines (1990). Dalam organisasi pembelajar, anggota organisasi secara konstan dan secara kolektif memperbaiki kapasitas mereka untuk menciptakan dan merealisasikan visi. Model organisasi pembelajar ini telah menciptakan suatu fondasi untuk memahami kapabilitas mengintegrasikan ide-ide baru bagi perbaikan organisasi.
Sementara itu pandangan Havelock and Zlotolow (1997) memfokuskan pada peran fasilitator perubahan dalam menggerakan system melalui enam tahapan perubahan terencana. Mereka berpendapat bahwa semakin besar perubahan semakin besar kekuatan yang menentangnya, dan untuk mengatasi hal ini diperlukan banyak saluran difusi yang dapat membawa visi bersama pada seluruh komunitas. menurut Hagenson (2001:23)
“This model greatly influenced what was needed to enforce appropriate training and teaching needed to innovate, adopt, and diffuse successfully. Knowing what is needed, in terms of training and support for an organization, helps to maintain and may help to diffuse new technologies to others.
kutipan di atas menunjukan bahwa agar inovasi, adopsi dan difusi berhasil diperlukan pelatihan dan pengajaran yang tepat, dan hal ini akan membantu memelihara serta menyebarkan teknologi baru pada fihak lain
Engestrom dengan kerangka teori aktivitasnya (Activity Theory Framework) mengintegrasikan pengguna, tujuan penggunaan teknologi, hasil yang diharapkan, komunitas pengguna dengan norma-normanya, konvensi, serta struktur sosial. Dalam konteks tersebut perubahan merupakan bagian dari system yang berhembus melalui system keseluruhan, kemudian mempengaruhi tiap-tiap dan setiap komponen serta pengguna (Sherry, Billig, Tavalin, & Gibson, (2000), dalam Hagenson, 2001:23)
Model siklis tersebut menjadi dasar bagi terbentuknya model learning/adoption trajectory, model ini melihat adopsi inovasi sebagai suatu proses dinamis. Sherry, Billig, & Perry, found that the learning/adoption trajectory model, (teacher as learner, adoption, teacher as co- learner, and reaffirmation or rejection), kemudian dalam penelitiannya Sherry, Billig, & Perry menambahkan satu fase lagi yaitu teacher as a leader (Hagenson, 2001:25).
the cyclical processes of the learning/adoption trajectory model creating the teacher as leader stage, the fifth stage, but to break away from linear models (technology is an ongoing process, therefore acting as a cycle instead of a line) we must start looking at more dynamic models such as:
the“unfreezing-change-freezing” process described by Schein (1996)
the circular change model of Havelock and Zlotolow (1997);
the balancing and reinforcing loops described by Senge (1990); and
the interaction of users, tools, agency, and the community of users described by Engestrom’s (1996) Activity Theory framework (Sherry, et al, 2000, dalam Hagenson, 2001:25)
masuknya peran guru sebagai pemimpin mendorong pada pemahaman bahwa guru dapat menentukan dan membuat keputusan tentang suatu inovasi apakah dilaksanakan atau tidak baik itu bersumber dari luar maupun yang berseumber dari dirinya sebagai bentuk pemunculan ide-ide baru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan demikian nampak bahwa adopsi inovasi bukan sesuatu yang bersifat linier, dan hal itu mesti dilihat dalam kerangka model yang dinamis dan interaktif dalam suatu konteks organisasi yang dasar-dasarnya telah dikemukakan oleh para pakar sebagaimana tersebut di atas
Di samping itu di dalam dunia pendidikan terdapat juga model spesifik yang dipandang tepat sebagai model inovasi pendidikan (Ibrahim, 1988:177) yang dapat membantu melihat secara lebih sistematis tentang inovasi pendidikan yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan yaitu :
(a) Model Penelitian, Pengembangan, dan Difusi (Research – Deve­lopment – Diffusion Model — RD & D Model).
Model inovasi ini cukup sederhana, tetapi nempunyai pengaruh yang sangat besar bagi pengembangan pendidikan. Model inovasi ini berdasarkan pemikiran bahwa etiap orang tentu memerlulkan perubahan, dan unsur pokok dari perubahan ialah penelitian, pengembangan, dan difusi. Agar benar-benar diketahui dengan -tepat permasalahan yang dihadapi serta kebutuhan yang diperlukan, maka langkah pertama yang harus diiakukan dalarr usaha mengadakan perubahan pendidikan ialah melakukan kegiatan penelitian pendidikan. Hasil penelitian kemudian dikembangkan ke dalam bentuk yang lebih operasional agar dapat lebih mudah diterapkan, baru sesudah itu dilakukan difusi inovasi melalui kegiatan komunikasi melalui berbagai saluran yang memungkinkan dengan memperhatikan berbagai nilai-nilai sosial yang berlaku di lingkungan dimana inovasi itu akan diterapkan.
(b) Model pengembangan Organisasi (Organization Developement Model).
Model ini tebih berarientasi pada organisasi daripada berorien­tasi pada sistem sosial. Model ini berpusat pada sekolah atau sistem persekolahan. Model Pengembangan Organisasi ini berbeda dengan Model Pengembangan dan Difusi: Model Penelitian Pengembangan dan difusi (RD & D) lebih tepat digunakan untuk penyebaran inovasi pada tingkat regional atau nasional, karena penelitian pendidikan lebih tepat jika dilakukan pada tingkat regional atau nasional. Sedangkan Model Pengembangan Organisasi lebih tepat digunakan untuk penye­baran inovasi pada suatu sekolah, karena sekolah merupakan suatu organisasi, Kedua model ini merupakan alat yang digunakan untuk menangani dua hal yang berbeda, juga untuk memecahkan permasalahan pembaharuan pendidikan yang berbeda pula. Model Pengembangan Organisasi atau Organization Developement (OD), juga berorientasi pada nitai yang tinggi artinya, model ini juga mendasarkan pada filosofi yang menyarankan agar sekolah atau sistem persekolahan jangan hanya diberi tahu tentang inovasi pendidikan, dan disuruh menerimanya, tetapi sekolah hendaknya mampu mempersiapkan diri untuk memecahkan sendiri masalah pendidikan yang dihadapinya. Sekolah harus menjadi organisasi yang sehat yang memahami persoalan yang dihadapi, dapat merumuskan permasalahan yang dihadapi, serta mampu untuk menciptakan cara memecahkan permasalahan itu sendiri dengan mengorganisir berbagai macam sumber yang ada dalam organisasi itu sendiri atau dengan bantuan ahli dari luar organisasasi, dan juga mampu menemukan cara bagaimana menerapkan inovasi serta manilai hasil yang telah dicapai.
(c) Model Konfigurasi (Model Konfigurasi (Configurational Model = CLER Model).
Model Konfigurasi (Configurasitional Model) atau disebut juga konfigurasi teori difusi inovasi yang juga terkenal dengan istilah CLER model, ialah pendekatan secara komprehensif untuk mengembangkan strateai inovasi (perubahan pendidikan) pada situasi yang berbeda. Ini adalah model umum atau model komprehensif karena memungkin­kan adanya klasifikasi atau penggolongan dari situasi perubahan. model ini menekankan pada batasan tentang serangkaian situasi pe­rubahan pada waktu tertentu. Model CLER ini menarik bagi kedua pihak baik bagi inovator maupun bagi penerima (adopter). Bagi inovator menggunakan model ini untuk meningkatkan kemungkinan diterimanya inovasi. Sedangkan bagi penerima inovasi, menggunakan model ini dapat meyakinkan bahwa inovasi yang diterimanya benar-benar sesuatu yang dibutuhkan. Menurut model konfigurasi kemungkinan terjadinya difusi inovasi tergantung pada 4 faktor yaitu: (1) Konfigurasi artinya menunjukkan bentuk hubungan inovator dengan penerima dalam kontek sosial atau hubungan dalam situasi sosial dan politik (2) Hubungan (linkage) yaitu hubungan antara para pelaku dalam proses penyebaran inovasi. (3) Lingkungan: bagaimana keadaan lingkungan sekitar tempat penye­baran inovasi. (4) Sumber (resources): sumber apakah yang tersedia baik bagi inovator maupun penerima dalam proses transisi penerimaan inovasi.
C. Peran Guru dalam Inovasi Pendidikan
Dalam tataran teknis implementasi, kebijakan yang inovatif dalam bidang pendidikan, pada ahirnya akan sangat ditentukan oleh kompetensi praktisi pendidikan dalam melaksanakan program/kebijakan tersebut. Dengan demikian, dalam dunia pendidikan/sekolah, inovasi dan sikap serta kinerja inovatif dari pendidik dan tenaga keppendidikan sangat diperlukan dan menentukan bagi keberhasilan adopsi dan implementasi inovasi pendidikan.
Lebih sulitnya adopsi inovasi oleh Pendidik dibanding oleh Administrator/tenaga kependidikan (House, 1974), tidak berarti inovasi pendidikan tidak dapat berjalan sama sekali, karakteristik dan kompetensi guru yang bervariasi, serta iklim organisasi sekolah yang juga berbeda-beda antar sekolah, memberi kemungkinan akan terjadinya suatu implementasi inovasi yang baik sesuai dengan kondusifitas karakteristik dan kompetensi individu serta lingkungan organisasi sekolah yang kondusif terhadap perubahan. Menurut Dooley (1999) banyak Guru melakukan inovasi namun mereka kurang melakukan penilaian akan efektivitas dari inovasi tersebut, ini mengindikasikan bahwa kompetensi guru perlu terus ditingkatkan agar dalam menghadapi dan menerapkan inovasi dapat mengkajinya secara matang, dan kalau memang kurang efektif mereka harus berani kembali ke posisi awal, sikap ini menurut Rogers (1983) merupakan ciri inovator.
Perubahan yang terjadi dalam tataran struktur tidak akan cukup untuk menjadikan peroses pendidikan di sekolah berubah dan inovatif, apabila tidak terjadi perubahan dalam sikap Sumber Daya Pendidikan di dalamnya, dan dalam konteks teknis, tanpa perubahan sikap guru atas perubahan dan inovasi, sebagaimana dikemukakan oleh Purkey and Smith (1983,www.careo.org) sebagai berikut :
“change in schools means changing attitudes, norms, beliefs, and values associated with the school culture. Researchers have found particular cultural norms that can facilitate school improvement. Norms such as introspection, collegiality, and a shared sense of purpose or vision combine to create a culture that supports innovation”.
dengan demikian perubahan sikap dari SDM Pendidik, norma, kolegialitas amat diperlukan agar organisasi sekolah dapat benar-benar berorientasi pada perubahan dan kondusif bagi inovasi pendidikan
Guru mempunyai peran yang menentukan dalam tataran teknis pendidikan yaitu pembelajaran, perkembangan yang terjadi di era global dewasa ini sudah tentu perlu diantisipasi melalui kinerja inovatif dalam menciptakan proses pembelajaran di kelas. Hasil penelitian yang dilakukan SMASSE INSET (www.adeanet.org, 2005) menyimpulkan bahwa ketidak efektifan praktek pembelajaran di kelas disebabkan salah satunya oleh faktor Guru sebagai berikut :
a) Poor mastery of content, lack of basic practical skills and innovativeness, poor teaching methods and generally neutral attitude manifested in theoretical, teacher-centred approach to teaching, failure to plan their work, missed lessons, lateness and unmarked exercises in the students’ books.
b) Generally low morale which is attributed to poor remuneration, working conditions and unsupportive school administrators.
Kurangnya penguasaan isi materi pembelajaran, ketrampilan dan keinovatifan menunjukan mash perlunya upaya peningkatan kualitas pendidik, ini memerlukan sikap guru positif terhadap Perubahan dalam melaksanakan tugasnya, proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas mesti diperbaiki terus menerus, sehingga pola kerja rutin perlu ditingkatkan menjadi pola kerja yang inovatif sebagai upaya untuk menghadapi dan mengantisipasi perubahan global yang juga menerpa dunia pendidikan. Peningkatan kualitas kinerja guru menjadi inovatif akan mendorong pada proses pembelajaran yang inovatif pula, sehingga para siswa pun akan menjadi orang yang mampu menyesuaikan diri secara terus menerus dengan lingkungan yang berubah cepat, kemampuan ini jelas amat penting bagi siswa/output pendidikan dalam meningkatkan kapabilitas bersaing, kerena “survival in the fast changing world may well depend on the ability of pupils to develop skills in adaptation, flexibility, cooperation and imagination”(Whitaker, 1993:5).
Dengan demikian, peran guru dalam melaksanakan tugasnya perlu memasukan kemampuan inovatif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, sehinggan hasil pendidikan akan mampu dalam menghadapi era global yang penuh persaingan. Dengan merujuk pada pendapat Pullias dan Young, Mannan serta Yelon dan Weinstein, Mulyasa (2005:87) mengidentifikasi peran guru sebagai berikut, yaitu: Pendidik, Pengajar, Pembimbing, Pelatih, Penasehat, pembaharu (inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, Pembangkit pandangan, Pekerja rutin, Pemindah kemah, Pembawa cerita, Aktor, Emansipator, Evaluator, Pengawet, dan kulminator. Masuknya peran innovator di atas menggambarkan bahwa guru tidak cukup hanya menjalankan tugasnya secara rutin, namun pembaharuan/inovasi menjadi tuntutan yang harus terus dikembangkan.
Sementara itu menurut Moh Surya (2004:5-6), tantangan globalisasi dalam tingkatan operasional pendidikan menuntut peningkatan kualitas profesi guru sebagai pelaku pendidikan yang berada di front terdepan melalui interaksinya dengan peserta didik. Untuk itu guru harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Dan profesionalisme guru akan tercermin dalam perwujudan kinerjanya yang secara ideal akan terlihat dalam lima hal berikut :
1. guru yang memiliki semangat juang yang tinggi disertai kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap
2. guru yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek
3. guru yang memiliki kualitas kompetensi pribadi dan profesional yang memadai disertai etos kerja yang kuat
4. guru yang memiliki kualitas kesejahteraan yang memadai
guru yang kreatif dan berwawasan masa depan
Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buta teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.
Galbreath, dalam Ani M. Hasan (2003) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan (globalisasi) adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Praktek pembelajaran di abad pengetahuan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan
Guru sebagai kawan belajar
Belajar diarahkan oleh siswa kulum.
Belajar secara terbuka, ketat dgn waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan
Terutama berdasarkan proyek dan masalah
Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survei
Penyelidikan dan perancangan
Penemuan dan penciptaan
Colaboratif
Berfokus pada masyarakat
Hasilnya terbuka
Keanekaragaman yang kreatif
Komputer sebagai peralatan semua jenis belajar
Interaksi multi media yang dinamis
Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia
Unjuk kerja diukur oleh pakar, penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri.
Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa; di abad pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan. praktik pembelajaran Abad Pengetahuan memerlukan upaya perubahan/reformasi pembelajaran, melalui cara-cara baru pembelajaran yang akan lebih efektif. Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan (Knowledge society) nampaknya lebih sesuai dengan arah yang diinginkan oleh sistem Pendidikan nasional, meskipun bukan dengan mengganti cara yang positif yang sudah dijalankan dewasa ini, dan disinilah peran kreativitas guru untuk melaksanakan kinerja inovatif dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Memang diakui bahwa pada Abad dan masyarakat Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran cenderung banyak menggunakan piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun demikian, Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalisator yang penting yang membawa kita pada cara pembelajaran di Abad Pengetahuan, tapi yang perlu menjadi perhatian utama adalah bagaimana hasilnya dan bukan alatnya. Guru dapat melengkapi pelaksanaan proses pendidikan/pembelajaran dengan teknologi canggih tanpa sedeikitpun membawa dampak pada hasil pendidikan yang diperoleh peserta didik, di sini yang penting adalah bagaimana pelaksanaan peran dan tugas guru dapat memberikan nuansa baru bagi pengembangan dan peningakatan peroses pendidikan dengan atau tanpa bantuan teknologi modern, dan ini jelas memerlukan kreativitas dan kinerja inovatif dari Guru dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan/pembelajaran tersebut.
Berdasarkan gambaran pembelajan di abad pengetahuan di atas, nampak bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai tantangan ini, maka pengembangan Profesionalisme Guru merupakan suatu keharusan, sehingga dengan berlakunya UU No 14 tahun 2005 dapat dipandang sebagai upaya untuk lebih meningkatkan profesionalisme pendidik serta memposisikan profesi pendidik/guru dalam status terhormat dan setara dengan profesi lainnya. Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Tuntutan profesionalisme guru memerlukan upaya untuk terus mengembangkan sikap profesional, melalui peningkatan kapasits guru agar makin mampu mengembangkan profesinya dalam menjalankan tugarnya di sekolah. Menurut Roland S. Barth (1990:49)
”The crux of teachers’ professional growth, I feel, is the development of a capacity to observe and analyze the consequences for students of different teaching behaviour and materials, and to learn to make continous modification of teaching on the basis of cues student convey”
Pengembangan kemampuan untuk terus melakukan modifikasi dalam pembelajaran menuntut pada pengembangan profesional guru yang terus menerus, serta kinerja inovatif, sehinggan guru dapat berperan sebagai agen pembelajar dalam konteks pelaksanaaan tugasnya di sekolah. Pengembangan ini mensyaratkan perlunya guru punya kualifikasi dan kompetensi yang dapat menunjang proses tersebut, serta didukung oleh situasi organisasi sekolah yang kondusif, sehinggan pengembangan tersebut tidak hanya berdimensi pribadi guru itu sendiri namun juga di dukung oleh manajemen yang kuat dan kondusif bagi pengembangan profesi tersebut serta bagi tumbuhnya iklim inovasi dalam proses pendidikan di sekolah.
D. Kinerja inovatif Guru
Kinerja seseorang akan nampak pada situasi dan kondisi kerja sehari-hari. Kinerja dapat dilihat dalam aspek ciri-ciri kegiatan dalam menjalankan tugas dan cara melaksanakan melaksanakan kegiatan/tugas tersebut. Dalam aplikasi prinsip kualitas, produk (barang atau jasa) dapat dilihat dari sudut ciri-ciri (kondisi/keadaan) dan kualitas seperti yang dikemukakan oleh Robert (1995:21) sebagai berikut :
“in the application of quality principles, it is important to distinguish between the concept of features and quality. Features are what you put into the product to distinguish it from other product and to appeal the people for whom the product is intended. …… quality, on the other hand, has to do with the way the feature are dilivered”
dengan mengacu pada pendapat di atas, maka yang dimaksud kinerja inovatif (Innovative Performance) adalah kinerja yang dalam melaksanakannya disertai dengan keinovatifan, ciri kinerja atau tugas-tugas yang harus dikerjakan menggambarkan ciri/feature kinerja, sedangkan keinovatifan merupakan sifat atau kualitas bagaimana pelaksanaan tugas/kinerja dijalankan dengan inovatif atau dengan memanfaatkan serta mengaplikasikan hal-hal baru, baik berupa ide, metode, maupun produk baru dalam meningkatkan kinerja.
Kinerja inovatif bagi guru perlu di dorong, dengan mengingat berbagai tuntutan perubahan yang makin meningkat, menurut Liikanen (2004) “To improve productivity we need to address the key issues of innovative performance, the application of new technologies, reengeneering organisations and developing the necessary skills”. Penerapapan teknologi baru, rekayasa organisasi serta pengembangan keterampilan dapat menjadi cerminan dari kinerja inovatif, yang dalam konteks individu sekaligus juga menggambarkan kreativitas individu itu sendiri dalam menjalankan peran dan tugasnya, yang dalam konteks pendidikan berarti pelaksanaan peran dan tugas guru secara kreatif.
Kegiatan/Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya menggambarkan bagaimana ia berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada dasarnya Kinerja adalah akumulasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yaitu keterampilan, upaya, dan sifat-sifat keadaan eksternal. Keterampilan dasar yang dibawa seseorang ke tempat pekerjaan dapat berupa pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal dan kecakapan teknis. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa kinerja merupakan prestasi kerja, yakni hasil yang ditunjukkan dari perilaku. Prestasi kerja tersebut ditentukan oleh interaksi seseorang terhadap kemampuannya bekerja. Persoalan tersebut jelas menuntut adanya wawasan pengetahuan yang memadai tentang program kerja secara menyeluruh.
Dengan pemahaman mengenai konsep kinerja sebagaimana dikemukakan di atas, maka akan nampak jelas apa yang dimaksud dengan kinerja guru. Kinerja guru pada dasarnya merupakan kegiatan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pengajar dan pendidik di sekolah yang dapat menggambarkan mengenai prestasi kerjanya dalam melaksanakan semua itu, dan hal ini jelas bahwa pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tanpa memiliki keahlian dan kwalifikasi tertentu sebagai guru.
Uraian di atas menunjukan betapa besar peranan kinerja seorang guru dalam upaya mencapai proses belajar mengajar yang efektif dan fungsional bagi kehidupan seorang siswa. Sehubunagn dengan hal tersebut perlu dikaji berbagai faktor yang mungkin turut mempengaruhi kinerja seorang guru.
Seperti disebutkan terdahulu bahwa sekolah sebagai suatu organisasi di dalamnya terdapat kerja sama kelompok orang (kepala sekolah, guru, Staf dan siswa) yang secara bersama-sama ingin mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Semua komponen yang ada di sekolah merupakan bagian yang integral, artinya walaupun dalam kegiatannya melakukan pekerjaan sesuai dengan fungsi masing-masing tetapi secara keseluruhan pekerjaan mereka diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi sekolah.
Seorang mau menerima sebuah pekerjaan, jika ia mempersiapkan bahwa ia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut sesuai dengan yang ditetapkan tata tertib sekolah. Pada hakikatnya kinerja guru adalah prilaku yang dihasilkan seorang guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar ketika mengajar di depan kelas, sesuai dengan kriteria tertentu.
Tanpa mengurangi dan meniadakan peran serta fungsi yang lain, kinerja guru merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam keberhasilan pendidikan. Karena apapun tujuan-tujuan dan putusan-putusan penting tentang pendidikan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan sebenarnya dilaksanakan dalam situasi belajar mengajar di kelas (Sumantri Manaf, 1988:106).
Di samping itu, pengajaran yang menghasilkan peserta didik memperoleh pengalaman belajar dengan baik bukanlah sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Belajar tidak tejadi karena adanya ilmu yang dimiliki oleh seorang guru yang baik, melainkan dapat terjadi karena para guru yang berhasil baik memiliki kemampuan tentang dasar-dasar mengajar dengan baik. Kinerja adalah aktivitas atau perilaku yang dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugas/pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Kinerja guru merupakan suatu hal yang essensial terhadap keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu kinerja guru yang baik perlu diciptakan sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan optimal. Agar kinerja guru dapat tercipta dengan baik maka guru perlu mengetahui tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Guru merupakan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam melaksanakan tugas tersebut, dengan mengingat tantangan pendidikan yang terus berubah, maka kenerja guru perlu dilakukan secara inovatif
Seorang guru hendaknya berperilaku yang mempunyai pola interaksi di dalam proses belajar secara efektif, apabila mereka memiliki keinginan untuk memahami peserta didik sesuai dengan kebutuhannya. Kemampuan berinteraksi dari guru tidak akan berarti apa-apa seandainya mereka memiliki motivasi yang rendah, terhadap penyesuaian dengan lingkungan, baik terhadap kebijakan dan tujuan atau strategi pengajaran tersebut..
Dengan mengingat bahwa keadaan lingkungan tidak mudah terkontrol, maka seorang guru harus terbuka, penuh dengan pertimbangan, mampu mendengar, dan bijaksana. Menyikapi hal tersebut maka guru senantiasa mampu memodifikasi perilaku terhadap tuntutan yang ada atau timbul, terutama dalam proses belajar mengajar, ke arah pemberian harapan yang positif untuk peningkatan motivasi belajar.
Seperti dijelaskan di atas, tugas guru dalam meningkatkan mutu serta produktifitas tidak dapat terpisahkan dari keseluruhan tugas dalam operasionalisasi pendidikan di sekolah. Dengan demikian, keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan tidaklah hanya menggantungkan diri pada usaha pemberian program pengajaran semata-mata. Program tersebut perlu didukung oleh motivasi, system pengelolaan, administrasi dan supervisi pendidikan. Dan sehubungan dengan hal tersebut, penyelenggaraan proses pendidikan dapat mencapai hasil yang optimal bila perhatian pimpinan lebih banyak dipusatkan kepada guru. Guru dalam hal ini hanya merupakan pelaksana operasionalisasi program pendidikan, namun demikian dalam berkinerja, guru dapat mengembangkan inovasi dalam melaksanakan tugasnya, ini berarti kinerja inovatif merupakan hal yang penting.
Pihak manapun mengakui bahwa di dalam sistem persekolahan, kurikulum, sarana dan prasarana merupakan faktor-faktor penting yang tidak bisa kita abaikan dalam suatu proses pendidikan/pembelajaran. Akan tetapi tanpa kehadiran guru yang bermutu, inovatif, berdedikasi tinggi dan berwibawa, semua yang tersebut di atas tidaklah berarti banyak.
Sementara itu tugas/kewajiban Guru menurut Undang-Undang No 14 tahun 2005 pasal 20 adalah sebagai berikut:
merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran
meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, atau latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran
menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Kutipan Undang-undang tersebut menunjukan bahwa kewajiban guru pada dsarnya merupakan kegiatan yang harus dilakukan guru dalam menjalankan peran dan tugasnya di sekolah, dimana aspek pembelajaran merupakan hal yang utama yang harus dilaksanakan oleh guru, yang berarti menunjukan kinerja yang harus dilakukan oleh guru di sekolah. Dalam konteks tersebut maka kinerja inovatif guru merupakan kinerja guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pendidik dengan selalu berupaya mengembangkan dan menerapkan hal-hal baru dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, yang didasari dengan sikap kreatif dan terbuka terhadap perubahan
Dengan demikian, upaya mengembangkan cara baru baik pada tataran institusi, manajerial dan operasional, jelas akan menentukan keberhasilan pelaksanaan setiap program pendidikan secara inovatif, terlebih lagi dalam situasi perubahan yang sangat cepat, meskipun begitu diperlukan kepemimpinan Kepala Sekolah yang inovatif dan juga motivasi dari guru sendiri dalam melaksanakan kewajibannya. Kepemimpinan Kepala Sekolah mutlak diperlukan dalam memimpin organisasi bekerja, karena sikap kepemimpinan kepala Sekolah dapat mempengaruhi kinerja guru. Pada akhirnya kelak kinerja guru dapat ditingkatkan dan pencapaian tujuan pendidikan dapat dengan mudah terlaksana dengan karakteristik yang antisipatif dan proaktif terhadap perubahan, sehingga terwujudnya manusia cerdas komprehensif dan kompetitif sebagai dampak dari kinerja inovatif guru akan dapat benar-benar terwujud sebagai hasil dari suatu proses pendidikan/pembelajaran dalam bingkai organisasi yang inovatif yang didukung oleh seluruh SDM Pendidikan yang kreatif..
DAFTAR PUSTAKA
American Association for the Advancement of Science (1998) School Organization. http://www.aaas.org (12 Mei 2006)
Alan, Thomas J. (1971). The Productive School; A System Analysis Approach to Educational Administration. New York : John Willey & Sons, Inc.
Anwar, Idochi, & Yayat Hidayat Amir, (2000). Administrasi Pendidikan, Teori, Konsep, & Issu. Program Pasca Sarjana UPI.
Arcaro, Jerome S. (2005) Pendidikan Berbasis Mutu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Argyris, Chris. (1999) On Organizational Learning. 2nd edition, Malden, Massachusetts, Blackwell Publisher.
Armstrong, Thomas. (2004). Sekolah Para Juara, Menerapkan Multiple Intelegence di Dunia Pendidikan. Terj. Bandung : Kaifa.
Atmodiwirio, Soebagio. (2000). Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Ardadizya Jaya
Bachman, Edmund, (2005). Metode Belajar Berfikir Kritis dan Inovatif. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Barth, Roland S. (1990). Improving School from Within. San Francisco : Jossey – Bass.
Beck Klaus. (1997). Organizational learning, http://www.sfb504.uni-mannheim.de/glossary/orglearn.htm (10 Mei 2006)
Beck Lynn G. & Murphy, Joseph. (2000). The Four Imperatives of Successful School. Corwin Press, Inc. California
Berger, Ron (1997) Building School culture of high standard, www.newhorizon.org (7 Agustus 2007)
Brown, Rexford (2004) School Culture and Organization, www.dpsk12.org. (7 Agustus 2007)
Buchori, Mochtar. (1995). Transformasi Pendidikan. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Burgard, Jeffrey J.. (1996). Continuous Improvement in the Science Classroom. Milwaukee : ASQ Quality Press.
Butler, Jocelyn A., Kate M Dickinson (1987) Improving School Culture, School Improvement Research Series, www.nwrl.org (7 Agustus 2007)
Caldwell, Brian J., & Jim M. Spinks. (1992). Leading the Self – Managing School. Washington DC : The Falmer Press.
Cuttance, Peter, (ed) (2001). School Innovation, Pathway to the Knowledge Society, Department of Education, Australia, www.dest.govt.au (akses agustus 2007)
Danim, Sudarwan (2002) Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
———— (2006). Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara.
DeGraff, Jeff., Katherine A Lawrence.(2003) Creativity at Work, Developing the Right Practices to Make Innovation Happen. University of Michigan Business.
Depdiknas Dirjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. (2004). Pedoman Pengembangan Sekolah Standar Nasional.
Depdiknas Dirjen Dikti Direktorat Ketenagakerjaan. (2007). Pedoman Penyusunan Usulan dan Laporan Pengembangan Inovasi Pembelajaran di Sekolah Thn 2007.
Depdiknas Dirjen Dikti Direktorat Ketenagakerjaan. (2007). Pedoman Penyusunan Usulan dan Laporan Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Pembelajaran LPTK (PPKP) Thn Anggaran 2007.
Dibbon, David C., Katina Pollock ( 2004 ) The Nature of change and innovation in five innovative school, The Innovation Journal, Public Sector Journal, vol 12. www.innovation.ce. (13 Agustus 2007)
Engkoswara (2002) Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan, Cetakan Pertama, Bandung Yayasan Amal Keluarga,..
———— (2001). Paradigma Manajemen Pendidikan Menyongsong Otonomi Daerah. Bandung : Yayasan Amal Keluarga.
Fullan, Michael. & Suzanne Stiegelbaver (1991). The New Meaning of Educational Change. New York : Teacher College Press.
———— (eds) (1997). The Challenge of school change, Australia, Hawker Brownlow.
Gardner, John W.. (1981). Self Renewal, the Individual, & the Innovative. New York : W.W. Norton & Company.
Gibbs, Colin (2003) Explaining effective teaching: self-efficacy and thought control of action, Journal of Educational Enquiry, Vol. 4, No. 2, 2003 ( 12 September 2006)
Hagenson, Lara Catherine (2001) The Integration of Technology into Teaching Oklahoma State University, Oklahoma, Thesis. (akses 6 sept 2006)
Hamond, Linda Darling, & Gary Sykes. (1999). Teaching As the Learning Profession, Handbook of Policy and Practice. San Francisco : Jossey – Bass.
Hargreaves, Andy. (2003). Teaching in the Knowledge Society, Education in the age of Insecurity. Philadelphia, Open University Press.
Hayman, Irwin A., Snook, Pamela A. (1999). Dangerous Schools, What We Can Do about the Physical and Emotional Abuse of Our Children. San Francisco : Jossey – Bass Publishers.
Hesselbein, Frances. et al. (1997). The Organization of the future, San Fransisco:Jossey-Bass Publisher
Himpunan Keputusan Mendiknas RI. (2006.). Jakarta : Sinar Grafika.
Hoppers, Wim. (2004). Pengembangan Orientasi Pendidikan Dasar. Terj. Jakarta : Logos.
House, Ernest R.. (1974). The Politics of Educational Innovation. McCutchan Publishing Corporation.
Hoy, Wayne K., Cecil G. Miskel, (2001). Educational Administration 6th Edition, Ney York, McGraw Hill Co
Ibrahim. (1988). Inovasi Pendidikan, Ditjen Dikti, Depdikbud, Jakarta
Jackson, Susan E., et al. (eds) (2003). Managing Knowledge for Sustained Compeitive Advantage. San Fransisco:Jossey-Bass Publisher
Jalal, Fasli. (2005). Profesionalisasi Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Dalam Pembangunan SDM Berkualitas di Era Globalisasi, Presentasi Seminar, Bukittinggi
————, Dedi Supriadi. (2001) Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta : Adi Cita.
James, Jennifer. (1998). Thinking in the Future Tense, terj. Frans Kowa, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Jones, Gareth R. (2001) Organizational Theory, Text and Cases, Prentice Hall, New York
Joseph, & Susan Berk. (1995). Total Quality Management, Implementing Continuous Improvement. Malaysia : S. Abdul Majeed & Company.
Kasali, Rhenald. (2006) Change, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
———— (2007). Re-Code, Your Change DNA. Jakarta, Gramedia. Pustaka Utama
Keith, Sherry., Robert H Girling. (1991). Education, Management, and Participation. Boston : Allyn and Bacom.
Kelley, Tom. (2005) The learning person, The ten Faces of innovation, www.thetenfaces.com. (13 Agustus 2007)
Klaus, Beck. (1997). Organizational learning http://www.sfb504.uni-mannheim.de/glossary/orglearn.htm (10 Mei 2006)
Klausmeier, Herbert J., William Goodwin. (1971). Learning and Human Abilities 4th . New York : Harver & Row Publisher.
Koontz,Harold., Cyril O’Donnel, Principles of Management, Tokyo:Kogakusha Co. Ltd.
Kozma, Robert B. (2003) Technology and Classroom Practices: An International Study. Journal of Research on Technology in Education Volume 36 Number 1, www.robert.kozma@sri.com. ( 12 september 2006)
Kydd, Lesley., Megan Crawford, Colen Rienes. (2004). Professional Development for Educatonal Management. Terj. Jakarta : Grassindo.
Likert, Rensis. (1981). New Patterns of Management, Tokyo: McGraw-Hill Book Co. Inc.
Lunenburg, Fred C., & Allan C. Ornstein. (2004). Educational Administration. Belmont : Thomson Wadworth.
Macbeath, John., Peter Mortimore. (2005). Improving School Effectiveness. Terj. Jakarta : Grasindo.
Maggin, Michael D. (2005) Managing in Times of Change. Terj. Jakarta : Buana Ilmu Populer.
Margioli, Gabriel Diaz. (2000). Professional Development, Virginia : ASCD.
Marquardt. Michael J. (2002). Building the Learning Organization. 2nd edition. Palo Alto Davies-Black Publishing, Inc.
Marques, Daniel P. et al (2006) The effects of Innovation on Intelectial Capital, Journal of Innovation Management, Vol 10 No 1 Marc 2006 ( 3 Juli 2007)
Marzano, Robert J. (2003) The Key to Classroom Management, www.ASCD.org. (7 Agustus 2007)
Maslowski, Ralf. (2001). School Culture and School Performance, Ph.D. thesis, Netherland, University of Twente Press, www.tup.utwente.nl (akses 2 Okt 2007)
May, Rollo. (2004). The Courage to Create. Terj. Jakarta : Teraju.
McGaw, Barry., et.al (eds) (1992). Making Schools More Effective (Report of The Australian Effective School Project). Australia : Accer.
McGee Banks, Cherry A, et.al (2000). The Josey-Bass Reader on Educational leadership, San Fransisco : John Wiley and Son Inc.
McLeod, Beverly (1995) School Organization. (http://cepm.uoregon.edu/ publications/index.html)
Mohrman, Susan Albers., Priscilla Whohlstetter (1994) School Based Management, Organizing for High Performance, San Fransisco, ossey-Bass Publisher
Morin, Edgar. (2005). Tujuh Materi Penting Bagi Dunia Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.
Morris, Wayne (2006) Creativity, Its Place in Education, www.jpb.com (3 juli 2007)
Murphy, Joseph, & Karen Seashore Louis. (1999). Educational Administration. San Francisco : Jossey – Bass.
Nawawi, Hadari. (1985), Administrasi Pendidikan, Jakarta: PT Gunung Agung.
Nead, Lynne S., Joyce Wycopp (2001) Stimuliitng Innovation with collaboration, www.thinksmart.com. (13 Agustus 2007)
Noor, Idris HM. (2000). Sebuah Tinjauan Teoritis Tentang Inovasi Pendidikan di Indonesia, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, www. depdiknas.go.id. (akses 26 September 2007)
Osher, David., Steve Fleischman (2005) Positive Culture in urban School, www.ASCD.org. (7 Agustus 2007)
Palmer, Joy A.. (2001). Fifty Modern Thinkers on Education. Terj. London : IRCISoD.
Perkins, David. (1992). Smart School, Better Thinking and Learning for Every Child. New York : The Free Press.
Permadi, Dadi. (2001). Manajemen Berbasis Sekolah dan Kepemimpinan Mandiri Kepala Sekolah. Bandung : Sarana Panca Karya Nusa.
Peterson, Kent. (202) School Culture, www.smallschoolproject.org (7 Agustus 2007)
Pidarta, Made. (1988). Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bina Aksara.
Peraturan Pemerintah No.19 Thn. 2005. Standar Nasional Pendidikan, Bandung : Fokus Media.
Prahalald, C. K.. (1994). The Future of Competition Co-Creating Unique Value with Customers. Boston : Harvard Business School Press.
Radnor, Zoe J. (2006) Innovation Compass, Journal of Innovation Management, Vol 10 No 1 Marc 2006 ( 3 Juli 2007)
Razik, Taher A., Swanson, Austin D.(1995). Fundamental Concepts of Educational Leadership and Management,New Jersey. Prentice Hall.
Reeves, Douglas. (2007) How do you change school culture, www. ASCD.org. (7 Agustus 2007)
Renchler, Ron. (1992). Student Motivation, School Culture, and Academic Achievement, www.ERIC.com. (7 Agustus 2007)
Reynolds, David, & Peter Cuttance. (1992). School Effectiveness Research, Policy and Practice. New York : Cassel.
Richardson, Elizabeth. (1977). The Teacher, The School, and The task of Management, London : Heinemann Educational Books Ltd.
Roberts, Edwards B.. (2002). Innovation, Driving Product, Process, and Market Change. San Francisco : Jossey – Bass.
Robbin, Stephen P., Tomothy A Judge (2007) Organizational Behavior, 12th edition, New Jersey, Prentice Hall.
Robinson, Dana Gaines, & James C. Robinson. (1995). Performance Consulting , Moving Beyond Training. San Francisco : Berrett – Kohler Publisher.
Rogers, Everett M. (1983). Diffusion of Innovations, New York, The Free Press.
Rooney, Joanne. (2005) School Culture, An Invisible essentials, www.ASCD.org. (7 Agustus 2007)
Sagala, Syaiful. (2007). Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Bandung, Alfabeta.
Sallis, Edward, B. (1993). Total Quality Management in Education. London, IRCISoD Kogan Page.
Satori, Djam’an, et.al (2001) Pedoman Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat, Bandung : Dinas Pendidikan Jawa Barat
———— (1980). Administrasi Pendidikan. Bandung. IKIP Bandung Adsup.
Saufler, Chuck (2005) School Culture and School Climate, www.bullyfreemain.com (7 Agustus 2007)
Scheerens Jaap. (2000). Improving School Effectiveness. United Nation Educational, Scientific, & Cultural Organization UNESCO.
———— (1992). Effective Schooling Research, Theory, and Practice. London : Cassel Villiers House.
Sehlechty, Phillip C..(1987) Inventing Better School, An Action Plan for Educational Reform. San Fracisco : Jossey – Bass.
Senge. Peter M. (1990) The Fifth Discipline. The Art and Practice of The Learning Organization, New York, Doubleday-Dell Publishing Group. Inc
Sergiovanny, Thomas J., et.al. (eds) (1987). Educational Governance and Administration. New Jersey : Prentice Hall Inc.
Shapier and King (1985) Collaborative School Culture, www.ncrl.org. (7 Agustus 2007)
Sidi, Indra Djati. (2004) Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta : Paramadina.
Silver, Paula F. (1983). Educational Administration, Theoritical Perspectives on Practice and Research, New York : Harper and Row Publisher.
Sloane, Paul (2003) Innovation, Creating The Best Practice of tomorrow, www.innovationtolls.com (3 Juli 2007)
———— (2003) Innovation When it comes to innovation, trust your intuition, www.innovationtolls.com (13 Agustus 2007)
Slocum, Michael S. (2007) Use the eight patterns of evolution to innovate, www.realinnovation.com. (13 Agustus 2007)
Smith Mark K. (2001). The Learning Organization. http://www.infed.org/ biblio/learning-organization.htm (10 Mei 2006)
Spanbauer, Stanley J. (1992). A Quality System for Education. ASQC Quality Press.
Srikantaiah, T. Kanti, and Michael E. D. Koenig. (2000). Knowledge Management for the Information Professional. New Jersey,Information Today, Inc.
Starratt, Robert J. (2007). Kepemimpinan Visioner, Kiat Menegaskan Peran Sekolah. Terj. Triyono, Yogyakarta, Kanisius
Stolp, Steven (1994) Leadership for School Culture, ERIC DIGEST No 91/2004 www.CEPM.org (7 Agustus 2007)
Subandijah (1992) Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Yogyakarta, PT Raja Grafindo Persada
Sufyarma. (2004). Kapita Selekta Manajemen Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Suharsaputra, Uhar (2010) Administrasi Pendidikan, Bandung, Refika Aditama
Sukmadinata Nana Syaodih, Ayi Novi Jami’at, & Ahmad (2003). Pengendalian Mutu Sekolah Dasar. Bandung : Kesuma Karya.
———— (2006). Pengendalian Mutu Sekolah Menengah. Bandung, Rafika Aditama.
Supriadi, Dedi. (1996). Kreatifitas, Kebudayaan, & Perkembangan IPTEK. Bandung : Alfabeta.
————, Rohmat Mulayana, (eds) (1998). Pendidikan Alternatif. PPS IKIP Bandung & Grafindo Media Pratama.
Surya, Muhammad. (2003). Percikan Perjuangan Guru. Semarang : Aneka Ilmu.
Suryabrata, Sumadi. (1987) Pengembangan Tes Hasil Belajar. Jakarta : Rajawali.
Suryadi, Ace., Tilaar. (1993). Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung, Remaja Rosda Karya.
Susilo, Muhammad Joko. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Susilo, Willy. (2006). Advanced Quality Audit. Jakarta : VORQISTA Quality & Management Consultans.
Sutisna. Oteng. (1989). Administrasi Pendidikan, Bandung: Angkasa.
Suyadi. Prawirosentono, (1998), Manajemen Sumber Daya Manusia, Kebijakan Kinerja Karyawan , Ypgyakarta, BPEK.
Suyanto, (2006) Dinamika Pendidikan Nasional, Dalam Percaturan Dunia Global, Jakarta, PSAP Muhammadiyah,
Sweeney, Paul D., McFarlin, Dean B. (2002). Organizational behaviour, Solution for Management, New York, McGraw Hill
Takeuchi, Hirotaka., & Ikujiro Nonaka. (2004). Hitotsubashi on Knowledge Management. John Willey & Sons (Asia).
Tenner, Arthur R., & Irving J. De Toro. (1992). Total Quality Management, Three Steps to Continuous Improvement. New York : Addison – Wesley Publishing Company.
Thomas, J. Alan, (1971). The Productive School; A System Analysis Approach to Educational Administration. New York : John Willey & Sons, Inc.
Tilaar H. A. R.. (1997). Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi. Jakarta : Grassindo.
————,(1993). Analisis Kebijakan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda karya.
———— (2006). Standarisasi Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta.
———— (2004). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta.
———— (1992). Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung; Rosda Karya.
Tjakraatmadja, Jann Hidayat., Donald Crestofel Lantu. (2006). Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajaran. Bndung SBMITB.
Turner, Jane., Carolyn Crang (1996) Exploring School Culture, Center for Leadership in Learning, www.ucalgary.com (7 Agustus 2007)
Tunggal, Amin Wijaya. (2007). Inovation Management. Jakarta : Harvarindo.
Turney, C et.al (eds). (1992). The School Manager. Sydney : Allen & Unwin.
U.S. Department of Education (2004) Innovative Pathways to School Leadership, www.ed.gov (akses 6 september 2007)
Undang–Undang Republik Indonesia No 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta, Sinar Grafika

Posting Komentar

0 Komentar