Terbaru

6/recent/ticker-posts

Cerita Rakyat Jawa: PANGERAN SAMBERNYAWA

PANGERAN SAMBERNYAWA

Pangeran Sambernyawa adalah julukan yang diberikan oleh seorang pertapa sakti kepada Raden Mas Said. Peristiwa itu terjadi pada saat berkecamuknya perang besar yang dikobarkan Raden Mas Said melawang Kompeni Belanda pada tahun 1741-757 Masehi. Lalu mengapa Raden Mas Said mendapatkan julukan yang begitu atau dahsyat itu ? Inilah kisahnya.
Konon dikisahkan pada saat memulai perlawanannya melawan kompeni, Raden Mas Said hanya didukung oleh tak lebih dari 18 orang saja. Menyadari jumlah pengikutnya  terlampau sedikit, Raden Mas Said kemudian mengikuti nasehat para sesepuh kraton. Raden Mas Said berangkat ke Nglaroh, daerah kelahiran leluhurnya. Di tempat inilah Raden Mas Said mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda. Rakyat yang bersimpati terhadap perjuangannya mulai berdatangan di markas besar Nglaroh. Mereka datang dari sekitar Wonogiri, Gunung Kidul, Keduwang, dan bahkan dari tanah Bang Wetan dan Sukowati.
Dari daerah yang berhutang-hutan dan banyak gunungnya itulah Raden Mas Said terus bergerilya menyerang patroli kompeni yang selalu mengadakan pengawasan di wilayah Kasunanan Surakarta. Pasukan Raden Mas Said datang dan pergi bagaikan siluman dan selalu menebarkan teror kematian bagi pasukan kompeni. Kesaktian dan kepiawaiannya dalam mengatur strategi perang benar-benar membuat pusing pasukan Belanda. Maka tidak mengherankan sampai 16 tahun kompeni Belanda belum juga dapat mematahkan perlawanan Raden Mas Said. Benar-benar sebuah perang yang panjang dan melelahkan bagi Kompeni Belanda.
“Tuan Jenderal, menurut pendapat kanjeng Sunan, perang melawan pasukan Said dihentikan sampai di sini saja. Mereka tak mungkin bisa dikalahkan. Mereka dibantu oleh pasukan jin,” berkata utusan Sunan Paku Buwono III.
“Apa? Dihentikan? Pasukan Jin? Omong kosong!” Pimpinan pasukan kompeni Belanda itu pun semakin marah.
Jenderal Kompeni Belanda itu bahkan memerintahkan segenap kekuatan pasukannya untuk menggempur pasukan Raden Mas Said di Gunung Kidul. Jenderal Belanda itu yakin serangan kali ini akan dapat menangkap hidup atau mati Raden Mas Said. Keyakinan komandan kompeni itu didasarkan pada laporan  mata-mata Belanda yang berhasil menyusup di pihak pasukan Raden Mas Said.
“Kali ini kamu pasti mati, pemberontak!” berkata komandan Kompeni itu dengan geram. Jenderal Belanda itu pantas marah karena untuk perang memadamkan perlawanan Raden Mas Said itu, kompeni Belanda sudah menghabiskan biaya yang besar, sementara tanda-tanda akan menang belum kelihatan. Maka begitu sampai di Gunung Kidul, di daerah yang bergunung kapur itu, komandan pasukan kompeni segera memerintahkan untuk menyerang dengan tembakan meriam.
“Tembaaaak ….!” Perintah komandan pasukan kompeni lantang,
Suara-suara meriam pun seakan berlomba dengan teriakan pasukan kompeni yang menyerbu bagai gelombang air bah. Pasukan kompeni terus bergerak, merangsak maju, mengepung keberadaan Raden Mas Said yang hanya diikuti oleh sebagian kecil pasukannya.
“Celaka, Gusti Pangeran. Kompeni sudah mengepung bukit ini” lapor para pengikut Raden Mas Said.
“Ah, benarkah? Tidak mungkinkah kita melawannya?“ tanya Raden Mas Said yang baru terjaga dari bertapanya.
“Musuh terlampau banyak, Gusti Pangeran. Sebaiknya kita menghindar saja,” saran para pengikutnya.
“Baik, tapi untuk menghindar tampaknya tak mudah. Sekarang  berusahalah meloloskan diri lewat jalan rahasia. Aku akan mengalihkan perhatian mereka,” berkata Raden Mas Said dengan sungguh-sungguh.
“Tapi, Gusti ….?! Itu terlampau berbahaya bagi keselamatan Gusti Pangeran ” sela para pengikutnya.
“Aku bisa menjaga diri. Cepat kalian bergegaslah!” lanjut Raden Mas Said dengan gagahnya dan dengan gesit segera melesat ke luar goa.
“Ayo, tangkaplah aku. Inilah said, musuh utama kompeni!” teriak Raden Mas Said dengan lantang, sengaja menarik perhatian musuh.
Komandan Kompeni begitu girang melihat musuh utamanya benar-benar sudah ada di hadapannya. Maka tak ingin kehilangan kesempatan emas itu, Jenderal Kompeni itu segera memerintahkan pasukannya untuk menembak secara serentak Raden Mas Said yang berdiri gagah di atas bukit. Peluru-peluru panas dan ratusan anak panah berdesingan di udara memburu kemanapun Raden Mas Said bergerak. Namun senopati perang itu mampu bergerak laksana burung rajawali, cepat dan tangkas. Satu dua peluru dan anak panah yang dapat mengenai tubuhnya langsung runtuh ke tanah bagai membentur tembok baja. Tubuh Raden Mas Said kebal terhadap aneka macam senjata.
Namun sayang, ketika Raden Mas Said sedang menghindari berondongan senapan dan anak panah dan berniat menjejakkan kaki di sebuah tebing, tebing itu berguguran dengan suara gemuruh terkena tembakan meriam. Tubuh Raden Mas Said pun terperosok ke dalam jurang bersamaan dengan runtuhnya tebing itu.
Komandan Kompeni yang melihat peristiwa itu bersorak girang. Ia segera memerintahkan pasukannya untuk menimbuni jurang tempat jatuhnya Raden Mas Said dengan batu-batu besar. Setelah menunggu beberapa saat lamanya dan sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan di dasar jurang itu, pasukan Kompeni berkeyakinan bahwa musuh utamanya telah benar-benar tewas. Pasukan kompeni pun segera berlalu dari pegunungan kapur itu dengan bersorak -sorai penuh kemenangan.
Namun benarkah dugaan bala tentara kompeni itu? Rupanya Sang Pencipta masih memberi umur panjang kepada Raden Mas Said. Pada saat tubuh Raden Mas Said meluncur deras ke dasar jurang, tiba-tiba datang sesosok bayangan putih yang menyambar tubuh Raden Mas Said. Dengan gesit bayangan putih itu segera membawa Raden Mas Said ke sebuah goa yang aman dari pengamatan pasukan kompeni. Raden Mas Said dengan tulus menghaturkan terima kasih kepada Sang penolongnya.
“Namaku Pendeta Sukma Nglembara, Nakmas Said. Aku sudah lama membayang-bayangi dirimu. Aku hanya ingin memastikan apakah engkau benar-benar cocok menerima warisan pusakaku,” berkata Sang Pendeta yang sudah memutih semua rambutnya itu.
Sang Pendeta Sukma Nglembara segera mengeluarkan dua buah pusakanya untuk diwariskan kepada Raden Mas Said, karena memang Raden Mas Said lah yang dipandang mampu ketempatan kedua pusakanya. Kedua pusaka itu yang satu berujud keris, namanya Keris Kiai Tambak, dan satunya lagi berupa tongkat, namanya Kiai Sabuk Gelang.
Disamping mewariskan pusaka-pusaka ampuh, Pendeta Sukma Nglembara juga memberi nasehat kepada Raden Mas Said, agar perjuangannya berhasil, Raden Mas Said disarankan untuk bertapa selama 100 hari di sebuah gunung di daerah Matesih, tak jauh dari Gunung Lawu. Akhirnya dengan kesaktiannya, Pendeta Sukma Nglembara tidak hanya menolong Raden Mas Said dari dasar jurang, tetapi dalam sekejap sudah membawanya ke gunung di  Matesih.
“Sampai di sini dahulu perjumpaan kita, Nakmas Said. Setelah selesai  bertapamu akan datang pendeta yang sudah bosan hidup,” berkata Pendeta Sukma Nglembara, dan seiring dengan selesainya ucapannya, tubuhnya sudah tak kelihatan lagi.
“Benar-benar seorang pendeta yang sakti ,” gumam Raden Mas Said dan segera mencari sebuah tempat yang baik untuk bertapa.
Genap 100 hari Raden Mas Said bertapa, apa yang diramalkan Pendeta Sukma Nglembara menjadi kenyataan. Tiba-tiba saja dihadapannya sudah berdiri seorang pendeta yang mengaku sudah bosan hidup. Dia meminta tolong Raden Mas Said untuk membunuhnya karena hanya Raden Mas Said seorang yang dapat membunuhnya.
Pendeta itu segera mengeluarkan dua buah pusaka, yaitu sebuah tambur bernama Kiai Slamet dan sebuah bendera  bernama Kiai Tunggul Petung. Kedua Pusaka  itu akan diwariskan kepada Raden Mas Said sebagai tanda terima kasih. Raden Mas Said pun dengan berat hati hendak memenuhi keinginan pendeta itu. Perlahan-lahan dia menghunus keris Kiai Tambak, dan keajaibanpun terjadi, belum lagi keris pusaka itu menyentuh tubuh pendeta, tubuh pendeta itu sudah lenyap berikut raganya.
“Terima kasih, nakmas Said. Engkau memang senopati perang yang sakti. Belum lagi keris Nakmas Said tikamkan, nyawaku sudah tersambar. Nakmas Said pantas mendapat julukan Sambernyawa ….” Berkata pendeta yang sudah tidak tampak wujudnya itu.
Maka sejak saat itulah Raden Mas Said mendapat julukan atau gelar Pangeran Sambernyawa. Dengan gelar tersebut, Kompeni menjadi semakin gentar, dan akhirnya memenuhi tuntutan Pangeran Sambernyawa. Melalui Perjanjian Salatiga, Raden Mas Said berhak atas separuh wilayah Kasunanan Surakarta dan menjadi Raja Mangkunegara yang pertama.

Posting Komentar

1 Komentar